Selasa, 18 Mei 2010

DIABETES JUVENIL

DIABETES JUVENIL

I. PENGERTIAN
Penyakit diabetes milletus juvenil adalah penyakit yang disebabkan defisiensi insulin yang absolut. Hal itu terjadi karena kerusakan total dari sel beta pancreas yang merupakan sel-sel penghasil insulin,penyakit ini terjadi pada orang muda dengan usia dibawah 30 tahun atau bahkan sejak usia anak-anak sehingga disebut juvenil onset diabetes milletus.
Secara umum insiden IDDM akan meningkat sejak bayi hingga mendekati pubertas, namun semakin kecil setelah pubertas. Terdapat dua puncak masa kejadian IDDM yang paling tinggi, yakni usia 4-6 tahun serta usia 10-14 tahun. Diagnosis yang telat tentunya akan menimbulkan kematian dini
Diabetes mellitus merupakan penyakit kronis yang memerlukan pengobatan jangka panjang dengan biaya tinggi untuk mengontrol dan mencegah perburukan akibat komplikasi, tutur para pakar endokrinologi Indonesia, terutama Prof. Dr. Sidartawan Soegondo, Sp.PD, KEMD, FACE, ketua Persatuan Diabetes Indonesia (PERSADIA) tahun 2005-2008. Berdasarkan konsensus Perkumpulan Endokrinolog Indonesia (PERKENI), diabetes mellitus dibagi menjadi tiga tipe; tipe 1, diabetes mellitus akibat defisiensi hormon insulin sel beta pulau-pulau Langerhans. Tipe 2, diabetes mellitus akibat resistensi insulin di membran sel. Serta tipe 3, diabetes mellitus yang tidak terklasifikasikan.
Insulin merupakan hormon anabolik yang diproduksi di sel-sel beta pulau-pulau Langerhans pankreas. Inadekuat, hilang, destruksi, atau berkurangnya jumlah sel-sel ini akan menyebabkan diabetes mellitus tipe 1 yang membutuhkan insulin (insulin-dependent diabetes mellitus IDDM). Hampir sebagian besar anak-anak dengan diabetes mellitus tergolong dalam tipe ini.
Diabetes mellitus tipe 2, yang tidak tergantung insulin, noinsulin-dependent diabetes mellitus NIDDM bisa juga terjadi akibat kelainan genetik. Hampir semua penderita NIDDM memiliki resistensi insulin dan sel-sel beta tidak dapat meng­kom­pensasi resistensi ini. Meskipun sebelumnya tipe ini jarang ditemui di anak-anak, namun kecenderungan saat ini sekitar 20% dari total anak-anak penderita diabetes mellitus menderita NIDDM karena tingkat obesitas pada anak yang semakin tinggi. Selain itu resistensi insulin juga memang bisa terjadi akibat kelainan genetik yang menyebabkan Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY).
II. ETIOLOGI
Pada IDDM sebanyak 57% berasal dari keluarga DM (Ranakusuma,1992) 2.Virus.Dalam studi epidemiologi di Inggris dan Swedia menunjukkan akibat penyakit parotis (infeksi virus yang menyerang sel beta pancreas) menimbulkan prevalensi DM meningkat pada anak-anak.
Hampir semua (95%) kasus IDDM terjadi karena kombinasi genetik dan faktor lingkungan. Interaksi ini menyebabkan ter­jadinya destruksi autoimun pada sel beta pulau-pulau Langerhans. Defisiensi insulin baru terjadi saat 90% sel beta sudah mengalami destruksi.
Diabetes Tipe I ditandai oleh penghancuran sel-sel beta pankreas. Kombinasi faktor genetik, imunologi dan mungkin pula lingkungan (misalnyaa, infeksi virus) diperkirakan turut menimbulkan destruksi sel beta.
Faktor-faktor Genetik. Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya diabetes tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA (human Leucocyte Antigen) tetantu. HLA merupakan kumpulan gen yang bertanggung jawab atas antigen transplantasi dan proses imun lainnya. 95% pasien berkulit putih (Caucasian) dengan dibetes tipe I memperlihatkan tipe HLA yang spesifik (DR3 atau DR4). Resiko terjadinya diabetes tipe I meningkat 3-5 kalia lipat pada individu yang memiliki salah satu dari kedua tipe HLA ini. Resiko tersebut meningkat sampai 10 hingga 20 kali lipat pada individu yang memiliki tipe HLA DR3 maupun DR4 (jika dibandingkan dengan populasi umum).
Faktor-faktor Imunologi. Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respon autoimun. Respon ini merupakan respon abnormal dimana antibody terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya solah-olah sebagai jaringan asing. Otoantibody terhadap sel-sel pulau langerhans dan insulin endogen (intrenal) terdeteksi pada saat diagnosis dibuat dan bahakan beberapa tahun sebelum timbulnya tanda-tanda klinis diabetes tipe I. Riset dilakukan untuk mengevaluasi efek preparat imunosupresif terhadap perkembangan penyakit pada pasien diabetes tipe I yang baru terdiagnosis atau pada pasien pradiabetes (pasien dengan atibodi yang terdeteksi tetapi tidak memeperlihatkan gejala klinis diabetes). Riset lainnya menyelidiki efek protektif yang ditimbulkan insulin dnegan dosis kecil terhadap funsi sel beta.
Faktor-faktor Lingkungan. Penyelidikan juga sedang dilakukan terhadap kemungkinan faktor-faktor ekstrenal yang dapat memicu destruksi sel beta sebagai contoh, hasil penyelidikan yang menyatakan bahwa virus atau toksin tertentui dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan destruksi sel beta.
Interaksi antara faktor-faktor genetik, imunologi dan lingkungan dalam etologi diabetes tipe I merpan pokok perhatian riset yang terus berlanjut. Meskipun kejadian yang menimbulkan dentruksis sel beta tidak dimengerti sepenuhnya, namun pernyataan bahwa kerentanan genetik merupakan faktor dasar yang melandasi proses terjadinya diabetes tipe I merupakan hal yang secara umum dapat diterima.
III. MANIFESTASI KLINIK
Tanda-tanda yang paling mudah dikenali ialah tanda-tanda akibat hiperglikemia, glikosuria, dan ketoasidosis. Hiperglikemia itu sendiri bisa tidak menimbulkan gejala apa-apa, meskipun kadang ditemukan malaise, sakit kepala, dan kelemahan tubuh. Anak-anak juga menjadi irritable, mudah marah, dan sering ngambek, namun gejala utama hiperglikemia ialah akibat diuresis osmotik dan glikosuria. Glikosuria itu sendiri merupakan peningkatan frekuensi dan volume urin (poliuri) sehingga sering membuat anak-anak sering mengompol di malam hari. Gejala ini mudah dikenali pada bayi karena sering sekali minum dan banyak sekali urin pada diapernya.
Polidipsia terjadi karena terdapat diu­resis osmotik sehingga menyebabkan dehidrasi. Penurunan berat badan terjadi karena terjadi pemecahan lemak dan protein dalam jumlah banyak, meskipun nafsu makan anak relatif normal. Kegagalan tumbuh mungkin menjadi tanda utama yang membuat orang tua khawatir dengan anaknya sehingga memeriksakan ke dokter dan biasanya akan ditemukan hiperglikemia primer.
Malaise yang nonspesifik dapat terjadi kapan saja, terutama sebelum ditemu­kan­nya tanda-tanda hiperglikemia, atau mung­kin dapat menjadi petanda tersendiri selain hiperglikemia, sehingga bukan sebagai tanda klinis yang khas. Gejala lain yang sangat perlu dikenali ialah gejala-gejala pada ketoasidosis, yakni dehidrasi berat, tercium bau keton di mulut, napas asidosis (Kussmaul) yang mirip res­piratory distress, nyeri abdomen, muntah, somnolen hingga koma. Selain itu anak juga akan rentan terhadap infeksi karena terdapat penurunan imunitas akibat hiperglikemia, terutama infeksi saluran napas, saluran kemih, dan kulit, sehingga dapat ditemukan kandidosis. Yang paling sering dan mudah dikenali ialah kandidosis di daerah selangkangan.
Selain gejala malaise dan dehidrasi, anak-anak dengan diabetes dini tidak memiliki tanda yang khas pada tubuhnya. Mengingat penyakit endokrin autoimun banyak terjadi pada anak dengan IDDM, mungkin dapat ditemukan gejala endokrinopati lain, misalnya hipertiroidisme dengan gejala overaktivitas, cepat lelah, atau teraba gondok. Katarak dapat terjadi namun sangat jarang, kalaupun ada biasanya pada anak perempuan dengan hiperglikemia pada jangka waktu lama. Dapat ditemukan nekrobiosis lipoidika, berupa daerah atrofi berwarna merah yang berbatas tegas. Kondisi ini terjadi akibat luka pada kolagen kulit dan sulit untuk diobati.
IV. PATOFISIOLOGI
Secara umum di dunia terdapat 15 kasus per 100.000 individu pertahun yang menderita DM tipe 1. Tiga dari 1000 anak akan menderita IDDM pada umur 20 tahun nantinya. Insiden DM tipe 1 pa­da anak-anak di dunia tentunya berbeda. Terdapat 0.61 kasus per 100.000 anak di Cina, hingga 41.4 kasus per 100.000 anak di Finlandia. Angka ini sangat ber­variasi, terutama tergantung pada ling­kungan tempat tinggal. Ada kecenderung­an semakin jauh dari khatulistiwa, angka kejadiannya akan semakin tinggi. Meski belum ditemukan angka kejadian IDDM di Indonesia, namun angkanya cenderung lebih rendah dibanding di negaranegara eropa.
Lingkungan memang mempengaruhi terjadinya IDDM, namun berbagai ras dalam satu lingkungan belum tentu memiliki perbedaan. Orang-orang kulit putih cenderung memiliki insiden paling tinggi, sedangkan orang-orang cina paling rendah. Orang-orang yang berasal dari daerah de­ngan insiden rendah cenderung akan lebih berisiko terkena IDDM jika bermigrasi ke daerah penduduk dengan insiden yang lebih tinggi. Penderita laki-laki lebih banyak pada daerah dengan insiden yang ting­gi, sedangkan perempuan akan lebih berisiko pada daerah dengan insiden yang rendah.
Secara umum insiden IDDM akan meningkat sejak bayi hingga mendekati pubertas, namun semakin kecil setelah pubertas. Terdapat dua puncak masa kejadian IDDM yang paling tinggi, yakni usia 4-6 tahun serta usia 10-14 tahun. Kadang-kadang IDDM juga dapat terjadi pada tahun-tahun pertama kehidupan, meskipun kejadiannya sangat langka. Diagnosis yang telat tentunya akan menimbulkan kematian dini. Gejala bayi dengan IDDM ialah napkin rash, malaise yang tidak jelas penyebabnya, penurunan berat badan, senantiasa haus, muntah, dan dehidrasi.
Insulin merupakan komponen vital dalam metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Insulin menurunkan kadar glukosa darah dengan cara memfasilitasi masuknya glukosa ke dalam sel, terutama otot serta mengkonversi glukosa menjadi glikogen (glikogenesis) sebagai cadangan energi. Insulin juga menghambat pelepasan glukosa dari glikogen hepar (glikogenolisis) dan memperlambat pemecahan lemak menjadi trigliserida, asam lemak bebas, dan keton. Selain itu, insulin juga menghambat pemecahan protein dan lemak untuk memproduksi glukosa (glukoneogenesis) di hepar dan ginjal. Bisa dibayangkan betapa vitalnya peran insulin dalam metabolisme.
Defisiensi insulin yang dibiarkan akan menyebabkan tertumpuknya glukosa di darah dan terjadinya glukoneogenesis terusmenerus sehingga menyebabkan kadar gula darah sewaktu (GDS) meningkat drastis. Batas nilai GDS yang sudah dikategorikan sebagai diabetes mellitus ialah 200 mg/dl atau 11 mmol/l. Kurang dari itu dikategorikan normal, sedangkan angka yang lebih dari itu dites dulu dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) untuk menentukan benar-benar IDDM atau kategori yang tidak toleran terhadap glukosa oral.
V. KOMPLIKASI
Semua jenis diabetes mellitus memiliki gejala yang mirip dan komplikasi pada tingkat lanjut. Hiperglisemia sendiri dapat menyebabkan dehidrasi dan ketoasidosis. Komplikasi jangka lama termasuk penyakit kardiovaskular (risiko ganda), kegagalan kronis ginjal (penyebab utama dialisis), kerusakan retina yang dapat menyebabkan kebutaan, serta kerusakan saraf yang dapat menyebabkan impotensi dan gangren dengan risiko amputasi. Komplikasi yang lebih serius lebih umum bila kontrol kadar gula darah buruk.
VI. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Tidak diperlukan pemeriksaan radiologi secara rutin, yang lebih berperan ialah pemeriksaan lab. Pemeriksaan Gula Darah Sewaktu (GDS) dan Glukosa Darah Puasa (GDP) paling sering dilakukan. Batasnya 200 mg/dl (11 mmol/l) untuk GDS dan 120 mg/ml (7 mmol/l) untuk GDP. Selain darah, glukosa urin dapat menunjang diagnosis dan keton urin dapat menjadi petanda Ketoasidosis Diabetik (KAD), meskipun keton urin normal ditemukan pada orang yang lapar dan puasa. Ketonuria dapat menjadi marker jika terdapat defisiensi insulin dan gejala klinis yang menunjang KAD.
Hemoglobin yang terglikosilasi (HbA1a, HbA1b, dan HbA1c) merupakan hasil reaksi glukosa dengan hemoglobin yang nonenzimatik. Jika terjadi hiperglikemia pada waktu yang lama maka permukaan hemoglobin akan terglikosilasi tanpa enzim tertentu, sehingga akan terbentuk ikatan glikosilat pada minggu ke 8-10. Petanda ini menjadi penting karena dapat memantau perjalanan penyakit, biasanya diperiksa setiap tiga bulan sekali. Kisaran angka normal ialah 7-9%. Di bawah 7 berarti telah terjadi hipoglikemia dalam waktu lama, sedangkan di atas 9 berarti makin rentan terdapat komplikasi diabetes mellitus jangka panjang.
Pemeriksaan fungsi ginjal tidak perlu dilakukan sebagai pemeriksaan rutin, sementara pemeriksaan kimia darah lain yang tersier, misalnya antibodi anti sel beta dan antibodi anti insulin tidak harus dilakukan karena bukan merupakan maker yang spesifik IDDM. Anak-anak dengan IDDM juga kadang memiliki endokrinopati autoimun lainnya, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan kadar tiroid. Pada daerah dengan makanan pokok gandum, IDDM juga dapat menyebabkan penyakit celiac dan dapat ditemukan antibodi antigliadin (mis. Antiendomysial dan antitransglutaminase).
Tes lain yang sering dilakukan ialah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO). Dengan tes ini diabetes mellitus dapat disingkirkan jika terdapat hiperglikemia atau glukosuria tanpa adanya penyebab tipikal (penyakit kronis, terapi steroid) atau saat kondisi pasien memang mengalami glukosuria. Tes ini dilakukan dengan melakukan pemeriksaan GDP kemudian memberikan glukosa oral (2 g/kg untuk anak <3 tahun, 1.75 g/kg untuk anak 3-10 tahun, atau 75 g untuk anak >10 tahun) dan dites dua jam kemudian. Angka GDP di atas 120 mg/dl (6,7 mmol/l) dan GDS 2 jam PP di atas 200 mg/dl (11 mmol/l) merupakan petanda diabetes mellitus. OGTT yang dimodifikasi juga dapat dikerjakan untuk mengenali MODY. Pada MODY dan DM tipe 2, selain peningkatan GDP-GDS, dapat ditentukan insulin atau c-peptide (termasuk prekursor) dalam kadar yang bervariasi. Profil lipid juga sebaiknya dikerjakan. Albumin urin (albumin excretion rate) dapat dites untuk m­mantau terjadinya mikroalbuminuria, petanda dini nefropati DM.
VII. PANATALAKSANAAN MEDIS
Semua penderita IDDM membutuhkan terapi insulin. Hanya anak-anak dengan dehidrasi berat, muntah terus-menerus, kelainan metabolk, atau anak dengan penyakit kronis yang membutuhkan perawatan di rumah sakit dengan rehidrasi intravena. Pengobatan pun harus dilaksanakan secara terpadu; orang tua dan anak diajarkan untuk senantiasa mengecek sendiri kadar gula darah, menginjeksi insulin, serta untuk mengenali dan mengobati hipoglikemia. Diperlukan konsultasi ke ahli gizi, ahli diabetes, ahli oftalmologi, serta kadang psikolog.
Diet untuk anak dengan IDDM merupakan komponen yang sangat esensial. Tujuan diet pada IDDM ialah menyeimbangkan asupan makanan dengan dosis insulin dan aktivitas dengan cara menjaga kadar glukosa dalam rentang normal. Sebaiknya dapat diperkirakan jumlah karbohidrat yang dikandung dalam suatu makanan terutama bagi yang menggunakan insulin kerja cepat secara injeksi atau pompa ketika makan. Karbohidrat kompleks (mis. Sereal) dapat dikonsumsi sebelum tidur untuk mencegah terjadinya hipoglikemia nokturnal, terutama bagi yang mengkonsumsi insulin dua kali sehari.
DM merupakan kelainan metabolisme energi sehingga asupan makanan harus dijaga agar sebisa mungkin membatasi nutrisi yang membutuhkan metabolisme energi. Saat ini makanan yang dianjurkan ialah tinggi serat dan karbohidrat namun rendah lemak. Karbohidrat sebaiknya 50-60% dari total asupan energi, tidak lebih dari 10% dari sukrosa. Lemak harus kurang dari 30% dan protein sebanyak 10-20%.
Tidak ada pantangan untuk beraktivitas bagi penderita IDDM, namun kadang setelah melakukan aktivitas berat dapat terjadi hipoglikemia yang meliputi tungkai, menyebabkan sulit berjalan, lari, atau bersepeda. Setelah beraktivitas be­rat disarankan mengkonsumsi kudapan dalam jumlah agak banyak sebelum tidur.
Insulin mutlak diperlukan bagi penderita IDDM dengan rute pemberian yang beraneka macam. Januari 2006 lalu US-FDA telah menyetejui penggunaan insulin inhaler untuk dewasa yang diekstrak dari manusia (rDNA), namun dicabut kembali karena harganya tidak dapat dijangkau semua kalangan. Terdapat tiga golongan insulin secara klinis, yakni short-acting (mis. Regular, soluble, lispro, aspart, glulisine), medium dan intermediate-acting (isophane, lente, dentemir), serta lon-acting (ultralente, glargine). (Baca Terapi Insulin untuk Praktek Sehari-hari)
Selain insulin, obat-obatan lain yang perlu diwaspadai mengurangi efek hipoglikemik insulin ialah asetazolamid, ARV, asparaginase, fenitoin, isoniazid, diltiazem, diuretik, kortikosteroid, tiasid, estrogen tiroid, kalsitonin, kontrasepsi oral, diazoxide, dobutamin, fenotiazin, siklofosfamid, litium karbonat, epinefrin, morfin, dan niasin. Sedangkan obat yang meningkatkan efek hipoglikemik insulin ialah ACE-inhibitor, alkohol, tetrasklin, penyekat beta, steroid anabolik, piridoksin, salisilat, MAO-inhibitor, mebendazole, sulfo­namid, fenilbutazon, klorokuin, klofibrat, fenfluramin, guanethidine, octreotide, pentamidine, dan sulfinpyrazone.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar