Selasa, 18 Mei 2010

Defek Septum Ventrikel

Defek Septum Ventrikel

I. Definisi
Defek Septum Ventrikel (VSD, Ventricular Septal Defect) adalah suatu lubang pada septum ventrikel. Septum ventrikel adalah dinding yang memisahkan jantung bagian bawah (memisahkan ventrikel kiri dan ventrikel kanan).
Defek Septum Ventrikel (DSV) merupakan PJB, yang paling sering ditemukan, yaitu 30% dari semua jenis PJB. Pada sebagian besar kasus, diagnosis kelainan ini ditegakan setelah melewati masa neonatus, karena pada minggu-minggu pertama bising yang bermakna biasanya belum terdengar oleh karena resistensis vascular paru masih tinggi menurun setelah 8-10 minggu.

II. Etiologi
Penyebabnya tidak diketahui. VSD lebih sering ditemukan pada anak-anak dan seringkali merupakan suatu kelainan jantung bawaan.
Pada anak-anak, lubangnya sangat kecil, tidak menimbulkan gejala dan seringkali menutup dengan sendirinya sebelum anak berumur 18 tahun.
Pada kasus yang lebih berat, bisa terjadi kelainan fungsi ventrikel dan gagal jantung. VSD bisa ditemukan bersamaan dengan kelainan jantung lainnya. Faktor prenatal yang mungkin berhubungan dengan VSD:
- Rubella atau infeksi virus lainnya pada ibu hamil.
- Gizi ibu hamil yang buruk.
- Ibu yang alkoholik.
- Usia ibu diatas 40 tahun.
- Ibu menderita diabetes.

III. Angka Kejadian
1. Rasio laki-laki dengan perempuan adalah 1 : 1.
2. Peningkatan defek ini terlihat pada anak-anak dengan sindrom Down dan sindrom Holt-Oram.
3. Risiko bedah adalah 10% sampai 25%, tergantung komplikasi yang ada, ukuran defek, usia pasien, dan derajat resistensi vaskular paru.
IV. Patofisiologi
Defek septum ventricular ditandai dengan adanya hubungan septal yang memungkinkan darah mengalir langsung antar ventrikel, biasanya dari kiri ke kanan. Diameter defek ini bervariasi dari 0,5 sampai 3,0 cm. kira-kira 20% dari defek ini pada anak adalah defek sederhana (mis. Kecil). Banyak di antaranya yang menutup secara spontan. Kira-kira 50% sampai 60% anak-anak yang menderita defek ini memiliki defek sedang dan menunjukkan gejalanya pada akhir masa kanak-kanak. Defek ini sering terjadi bersamaan dengan defek jantung lain. Perubahan fisiologi yang terjadi dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Tekanan lebih tinggi pada ventrikel kiri dan meningkatkan aliran darah kaya oksigen melalui defek tersebut ke ventrikel kanan.
2. Volume darah yang meningkat dipompa ke dalam paru, yang akhirnya dipenuhi darah dan dapat menyebabkan naiknya tahanan vaskular pulmoner.
3. Jika tahanan pulmoner ini besar, tekanan ventrikel kanan meningkat, menyebabkan pirau berbalik, mengalirkan darah miskin oksigen dari ventrikel kanan ke kiri, menyebabkan sianosis (sindrom Eisenmenger).
Pada anak dengan defek septum ventrikel sederhana, gambaran klinisnya dapat meliputi adanya murmur, intoleransi latihan ringan, keletihan, dispnea selama beraktivitas, dan infeksi saluran napas yang berulang-ulang dan berat. Keseriusan gangguan ini tergantung pada ukuran dan derajat hipertensi pulmoner. Jika anak asimtomatik, tidak diperlukan pengobatan tetapi jika timbul gagal jantung kronik atau anak beresiko mengalami perubahan vaskular paru atau menunjukkan adanya pirau yang hebat, dindikasikan untuk penutupan defek tersebut. Risiko bedah kira-kira 3%, dan usia ideal untuk pembedahan adalah 3 sampai 5 tahun. Dengan defek yang lebih besar, anak menunjukkan gejala yang sama tetapi lebih hebat dan dapat timbul dalam bulan pertama kehidupan.

V. Manifestasi Klinis
Pada kedua kelainan ini, darah dari paru-paru yang masuk ke jantung, kembali dialirkan ke paru-paru. Akibatnya jumlah darah di dalam pembuluh darah paru-paru meningkat dan menyebabkan:
• Lekas lelah
• Batuk
• Sesak nafas waktu istirahat
• Kenaikan berat badan lambat dan berat badan tidak bertambah
• bayi mengalami kesulitan ketika menyusu
• keringat yang berlebihan.

VI. Klasifikasi
Berdasarkan gejala klinisnya dapat diperkirakan tipe VSD-nya sebagai berikut :
1. VSD kecil
a. Biasanya tak ada gejala (asimtomatik)
b. Jantung normal atau sedikit memebesar dan tidak ada gangguan tumbuh kembang
c. Bunyi jantung normal
d. Ditemukan bisisng sistolik dini pendek, di dahului early systolic click
e. Ditemukan pula bising pansistolik
2. VSD sedang
Gejala timbul pada masa bayi berupa
a. sesak nafas saat minum atau memerlukan waktu yang lama untuk menyelesaikan makan dan minum.
b. Kenaikan berat badan tidak memuaskan
c. Sering menderita infeksi paru yang lama sembhnya
d. Bayi tampak kurus denan dispnu, tarkipnu, serta rettraksi
3. VSD besar
a. Sering dengan gagal jantung pada umur 1-3 bulan
b. Sering dengan infeksi paru
c. Kenaikan berat badan lambat.
d. Bayi sesak nafas saat istirahat
e. Kadang tampak sianosis
f. Ganguan pertumbuhan sangat nyata
g. Bunyi jantung masih normal
h. Dapat didengar bisisng pansistolik
i. Dengan atau tanpa getaran bising
j. Melemah Pada Akhi Sistolik

VII. Komplikasi
1. Gagal jantung kronik
2. Endokarditis infektif
3. Terjadinya insufisiensi aorta atau stenosis pulmoner
4. Penyakit vaskular paru progresif
5. Kerusakan sistem konduksi ventrikel

VIII. Pemeriksaan
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Dengan menggunakan stetoskop, akan terdengar murmur (bunyi jantung abnormal) yang nyaring.
Pemeriksaan yang biasa dilakukan:
1. Rontgen dada
2. EKG, dapat dijumpai gambaran sebagai berikut :
a. Normal (VSD kecil)
b. HAki dan HVki (VSD sedang dan besar)
c. HAki dan HVkaki (VSD sedang dan besar)
3. HVka murni (VSD besar dengan hipertensi pulmonal menetap).
4. Kateterisasi jantung
Jantung, dapat dijumpai gambaran sebagai berikut :
a. Bising akhir sistole tepat sebelum S2, pada sela iga 3-4 Ips kiri.
b. Bising pansistolik derajat 3 atau lebih skala 6, nada tinggi kasar pm sela iga lps kiri.
c. Bising pansistolik derajat 3-4 sekala 6, nada tinggi kasar pm sela iga 3-4 Ips kiri disertai bising diastolik derajat 2/6 pendek nada rendah, pm sela iga 4 Imk kiri.
d. Bising sistolik lemah tipe ejeksi, pm Ips kiri bawah dengan S1 mengeras, setelah S1 terdengar klik sistolik (pembuka katup pulmonal), S2 mengeras/sangat keras dan tunggal.
5. Angiografi jantung
Radiologik, dapat dijumpai gambaran sebagai berikut :
a. Jantung dalam batas normal dengan atau tanpa corakan pembuluh darah bertambah (VSD kecil).
b. Kardiomegali, pembesaran batang a. pulmonalis sehingga tonjolan pulmonal prominen dan corakan pembuluh darah hilus berlebih (VSD sedang dan besar).
c. Batang a. pulmonalis besar (tonjolan puimonal prominen), dengan cabang-cabang a. pulmonalis lebih sedikit (VSD besar dengan hipertensi pulmonal menetap atau Sindrom Eisenmenger).

IX. Uji Laboratorium Diagnosis
1. Kateterisasi jantung menunjukkan adanya hubungan abnormal antar ventrikel
2. Elektrokardiogram (EKG) dan foto toraks menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri
3. Hitung darah lengkap adalah uji pra bedah rutin
4. Uji massa protrombin (PT) dan massa tromboplastin parsial (PTT) yang dilakukan sebelum pembedahan dapat mengungkapkan kecenderungan perdarahan (biasanya normal)

X. Penatalaksanaan Medis
1. Vasopresor atau vasodilator adalah obat-obat yang dipakai untuk anak dengan defek septum ventrikular dan gagal jantung kronik berat.
2. Dopamin (intropin) memiliki efek inotropik positif pada miokard, menyebabkan peningkatan curah jantung dan peningkatan tekanan sistolik serta tekanan nadi, sedikit sekali atau tidak ada efeknya pada tekanan diastolik, digunakan untuk mengobati gangguan hemodinamika yang disebabkan bedah jantung terbuka (dosis diatur untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi ginjal).
3. Isoproterenol (isuprel) memiliki efek inotropik positif pada miokard, menyebabkan peningkatan curah jantung dan kerja jantung, menurunkan tekanan diastolik dan tekanan rata-rata sambil meningkatkan tekanan sistolik.

XI. Penatalaksanaan Bedah: Perbaikan defek septum ventrikular
Perbaikan dini lebih disukai jika defeknya besar. Bayi dengan gagal jantung kronik mungkin memerlukan pembedahan lengkap atau paliatif dalam bentuk pengikatan atau penyatuan arteri pulmoner jika mereka tidak dapat distabilkan secara medis. Karena kerusakan yang ireversibel akibat penyakit vaskular paru, pembedahan hendaknya tidak ditunda sampai melewati usia pra sekolah atau jika terdapat resistensi vaskular pulmoner progresif.
Dilakukan sternotomi median dan bypass kardiopulmoner, dengan penggunaan hipotermia pada beberapa bayi. Untuk defek membranosa pada bagian atas septum, insisi atrium kanan memungkinkan dokter bedahnya memperbaiki defek itu dengan bekerja melalui katup trikuspid. Jika tidak, diperlukan ventrikulotomi kanan atau kiri. Umumnya Dacron atau penambal perikard diletakkan di atas lesi, meskipun penjahitan langsung juga dapat digunakan jika defek tersebut minimal. Pengikatan yang dilakukan tadi diangkat dan setiap defornitas karenanya diperbaiki.
Respon bedah harus mencakup jantung yang secara hemodinamik normal, meskipun kerusakan yang disebabkan hipertensi pulmoner itu bersifat ireversibel. Berikut ini adalah komplikasi dari gangguan tersebut :
1. Kemungkinan insufisiensi aorta (terutama jika sudah ada sebelum pembedahan)
2. Aritmia
a. Blok cabang ikatan kanan (ventrikulotomi kanan)
b. Blok jantung
3. Gagal jantung kronik, terutama pada anak dengan hipertensi pulmoner dan ventrikulotomi kiri
4. Perdarahan
5. Disfungsi ventrikel kiri
6. Curah jantung rendah
7. Kerusakan miokardium
8. Edema pulmoner
Defek septum ventrikular residual jika perbaikannya tidak menyeluruh karena adanya defek septum ventrikular multipel

XII. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Nadi
- Denyut apeks – frekuensi, irama dan kualitas
- Nadi perifer – ada atau tidak ada, jika ada kaji frekuensi, irama, kualitas, dan kesimetrisan; perbedaan antar ekstremitas
- Tekanan darah – semua ekstremitas
b. Pemeriksaan toraks dan hasil auskultasi
- Lingkar dada (toraks)
- Adanya deformitas toraks
- Bunyi jantung – murmur
- Titik impuls maksimum
c. Tampilan umum
- Tingkat aktivitas
- Tinggi dan berat badan
- Perilaku gelisah dan ketakutan
- Jari tabuh (clubbing) pada tangan dan kaki
d. Kulit
- Pucat
- Sianosis pada membran mukosa, ekstremitas, dasar kuku
- Diaforesis
- Suhu
e. Edema
- Periorbital
- Ekstremitas
f. Kaji adanya komplikasi
- Murmur diastolik, menunjukkan insufisiensi aorta
- Tekanan nadi lebar, menunjukkan insifisiensi aorta
- Aritmia
- Gagal jantung kronik
- Perdarahan
- Curah jantung rendah, terutama selama 24 jam pertama sesudah pembedahan
2. Diagnosa
a. Ansietas
b. Intoleransi aktivitas
c. Curah jantung menurun
d. Perubahan perfusi jaringan
e. Kelebihan volume cairan
f. Risiko tinggi infeksi
g. Risiko tinggi cedera
h. Perubahan proses keluarga
i. Risiko tinggi perubahan pertumbuhan dan perkembangan
j. Risiko tinggi penatalaksanaan program terapeutik tidak efektif
3. Intervensi
a. Perawatan Pra bedah
- Jelaskan pada anak dengan cara yang sesuai usia, sebelum pembedahan dilakukan.
- Pantau status dasar anak
 Tanda-tanda vital
 Warna membran mukosa
 Kualitas dan intensitas nadi perifer
 Waktu pengisian kapiler
 Suhu ekstremitas
- Bantu dan dukung anak selama melaksanakan uji laboratorium dan uji diagnostik
 Hitung darah lengkap, urinalisis, glukosa serum, dan nitrogen urea darah
 Elektrolit serum – Na, K, dan Cl
 PT, PTT dan jumlah trombosit
 Golongan darah dan pemeriksaan silang
 Pemeriksaan foto toraks
 EKG
b. Perawatan Pasca bedah
- Pantau status pasca bedah anak setiap 15 menit selama 24 sampai 48 jam pertama.
 Tanda-tanda vital
 Warna membran mukosa
 Kualitas dan intensitas nadi perifer
 Waktu pengisian kapiler
 Edema periorbital
 Efusi pleural
 Pulsus paradoksus atau penurunan tekanan nadi
 Tekanan arterial
 Irama jantung
- Pantau adanya perdarahan
 Ukur keluaran selang dada setiap jam
 Kaji adanya bekuan dalam selang dada
 Kaji adanya lesi ekimosis dan petekia
 Kaji adanya perdarahan dari tempat lain
 Catat keluaran darah untuk kajian diagnostik
 Pantau dengan ketat asupan dan keluaran
 Beri cairan sebanyak 50 % sampai 75 % volume rumatan selama 24 jam pertama
 Berikan produk darah yang diperlukan
- Pantau status hidrasi anak
 Turgor kulit
 Kelembaban membran mukosa
 Berat jenis
 Berat badan harian
 Keluaran urin
- Pantau adanya tanda dan gejala gagal jantung kronik
- Pertahankan suhu kulit pada 36o sampai 36,5 o C dan suhu rektal pada 37 o C.
- Pantau dan pertahankan status pernapasan anak
a. Minta anak untuk miring, batuk, dan menarik napas dalam
b. Lakukan fisioterapi dada
c. Lembabkan udara
d. Pantau adanya silotoraks
e. Berikan oba pereda nyeri sesuai kebutuhan
- Pantau adanya komplikasi
- Observasi adanya kerusakan kulit (misal bagian belakang kepala)
- Pantau dan redakan nyeri yang dialami anak
- Beri kesempatan pada anak untuk mengekspresikan perasaannya melalui cara-cara yang sesuai dengan usia
- Memberikan dukungan emosional pada orang tua
4. Pencegahan
a. Setiap wanita yang merencanakan untuk hamil, sebaiknya menjalani vaksinasi rubella.
b. Sebelum dan selama hamil sebaiknya ibu menghindari pemakaian alkohol, rokok dan mengontrol diabetesnya secara teratur.

TETRALOGI FALOT


TETRALOGI OF FALLOT

Pengertian
Tetralogi Fallot adalah penyakit jantung bawaan tipe sianotik. Pada penyakit ini yang memegang peranan penting adalah defek septum ventrikel dan stenosis pulmonalis, dengan syarat defek pada ventrikel paling sedikit sama besar dengan lubang aorta (Dr. Anna Ulfah Rahayoe, SpJP).
Tetralogi Fallot adalah gabungan dari:
- Defek septum ventrikel (lubang diantara ventrikel kiri dan kanan)
- Stenosis katup pulmoner (penyempitan pada katup pulmonalis)
- Transposisi aorta
- Hipertrofi ventrikel kanan (penebalan otot ventrikel kanan).











PREVALENSI
Kecuali selama umur minggu-minggu pertama, tetralogi fallot merupakan bentuk penyakit jantung utama yang menyebabkan sianosis. Sembilan persen bayi yang ditemukan dengan penyakit jantung berat pada umur tahun pertama menderita tetralogi fallot. Tetralogi fallot yang diperbaiki merupakan lesi jantung kongenital biasa pada penderita yang bertahan hidup.

ETIOLOGI
Kebanyakan penyebab dari kelainan jantung bawaan tidak diketahui. Biasanya melibatkan berbagai faktor.
Faktor prenatal yang berhubungan dengan resiko terjadinya tetralogi Fallot adalah:
• Selama hamil, ibu menderita rubella (campak Jerman) atau infeksi virus lainnya.
• Gizi yang buruk selama hamil.
• Ibu yang alkoholik.
• Usia ibu diatas 40 tahun.
• Ibu menderita diabetes.

GEJALA
Gejalanya bisa berupa:
• bayi mengalami kesulitan untuk menyusu
• berat badan bayi tidak bertambah
• pertumbuhan anak berlangsung lambat
• perkembangan anak yang buruk
• sianosis
• jari tangan clubbing (seperti tabuh genderang karena kulit atau tulang di sekitar kuku jari tangan membesar)
• sesak nafas jika melakukan aktivitas
• setelah melakukan aktivitas, anak selalu jongkok.
Pada Tetralogi Fallot terdapat 4 macam kelainan:
• Lubang di sekat pemisah bilik kiri (left ventricle) dengan bilik kanan (right ventricle)
• Aorta overriding (pembuluh darah utama yang keluar dari bilik kiri mengangkang sekat bilik, sehingga seolah-olah sebagian aorta keluar dari bilik kanan
• Pulmonal stenosis (penyempitan klep pembuluh darah yang keluar dari bilik kanan menuju paru, bagian otot dibawah klep juga menebal dan menimbulkan penyempitan). Dalam hal absent pulmonary valve, klep tak terbentuk, dan terjadi pelebaran pembuluh darah paru (warna biru muda pada gambar kanan). Pembuluh darah paru yang melebar ini dapat menekan saluran nafas, sehingga pasien mengalami sesak nafas, sering infeksi jalan nafas bawah.
• Penebalan otot bilik kanan akibat kerja keras (karena jalan keluarnya terhambat) dan tekanan dalam rongga ini meningkat.

KOMPLIKASI
Komplikasi dari tetralogi fallot antara lain:
1. Penyakit vaskuler pulmoner
2. Deformitas arteri pulmoner kanan

Komplikasi berikut dapat terjadi setelah Anastomosis Blalock-Taussig:
1. Perdarahan, perdarahan hebat terutama terjadi pada anak-anak dengan polisitemia.
2. Emboli atau trombosis serebri, risiko lebih tinggi pada polisitemia, anemia, atau sepsis.
3. Gagal jantung kongesti jika piraunya terlalu besar
4. Oklusi dini pada pirau
5. Hemotoraks
6. Pirau kanan ke kiri persisten pada tingkat atrium, terutama pada bayi
7. Sianosis persisten
8. Kerusakan nervus frenikus
9. Efusi pleura

Pemeriksaan fisik
Tabuh jari tangan dan jari kaki yang dapat dikenali pada bayi dan anak yang lebih tua adalah merupakan manifestasi sianosis kronik. Pertumbuhan akan terbatas pada penderita sianosis berat, tetapi pada tahun 1990 bukan lagi menjadi masalah penting karena adanya intervensi bedah awal.
Tanpa atresia pulmonalis, terdapat bising ejeksi sistolik keras yang terdengar dengan baik pada linea parasternalis kiri bawah tetapi biasanya kemudian dislurkan ke atas sepanjang seluruh linea parasternalis kiri dan terus kea rah fossa suprasternalis. Suara jantung kedua tunggal, terdiri atas komponen aorta satu-satunya dan mungkin diperkeras karena aorta asendens lalu kemudian pindah menuju kea rah anterior. Pada atresia pulmonalis bising kontinu sirkulasi kolateral mungkin dapat terdengar, terutama di atas punggung. Akan tetapi, sebenarnya pada neonatus dengan sianosis dan bising kontinu, kemungkinan diagnosis yang paling menonjol adalah tetralogi fallot dengan atresia pulmonal.
1. Elektrokardiografi
Elektrokardiogram menunjukan devisiansi sumbu ke kanan dan hipertrofi ventrikel kanan. Tanpa penemuan ini diagnosis tetralogi fallot tanpa ataudengan atresia pulmonalis hasilnya akan tampak meragukan. Jika ada stenosis pulmonal minimal dengan shunt dari kiri ke kanan yang besar, elektrokardiogram dapat menunjukan hipertrofi biventrikular. Sumbu superior ke kiri memberi kesan tetralogi fallot dengan defek kanal atrioventrikular.
2. Sinar-X Dada
Secara klasik, sinar-x dada menunjukan ukuran jantung normal dengan pengurangan vaskularisasi paru. Biasanya segmen batang arteria pulmonalis adalah defisien. Karena shunt dari kiri ke kanan yang berlebihan, vaskularisasi pulmonal mungkin bertambah dan jantung membesar dan tidak dapat dibedakan dari tanda-tanda yang ditemukan pada bayi dengan defek sekat ventrikel. Pada atresia pulmonalis dan sirkulasi koleteral berlebihan, jantung mungkin agak lebih besar daripada normal tetapi segmen batang arteria pulmonalis biasanya tidak ada. Tidak adanya segmen batang arteria pulmonalis menjadikan jantung tampak seperti sepatu dan diberi nama Coeur en Sabot. Biasanya bila arkus aorta ke kanan, ia dengan mudah dapat terlihat pada foto dada biasa. Kadang-kadang gambaran vaskularisasi yang tidak biasa pada foto dada dikenali sebagai sirkulasi koleteral.
3. Ekokardiogram
Pada ekokardiografi akan mungkin memperagakan defek sekat ventrikel, khas konventrikular dengan deviasi anterior sekat infundibulum. Akar aorta besar dan mengarah ke kanan bervariasi overriding. Saluran keluar pulmonal yang menyempit biasanya dengan mudah ditampakan dan obstruksi dapat didokumentasikan dengan teknik Doppler.
Sekarang dimungkinkan bagi ekokardiografer mengenali defek sekat ventrikel tambahan pada bagian lain sekat dengan teknik Doppler berwarna, dan anatomi arteria koronaria sering dapat dilihat dengan cukup baik untuk mengenali kelainan cabang-cabang konus di dalam saluran aliran keluar ventrikel kanan pada titik dimana irisan bedah mungkin diperlukan.
Stenosis pilmonal perifer proksimal dan hipoplasia relatif pembuluh darah pulmonal sentral dapat ditampakan. Belum ada data yang cukup untuk merekomendasikan bahwa koreksi bedah tetralogi fallot yang dilakukan dengan informasi diagnostik anatomik yang didasarkan seluruhnya atas ekokardiografi, tetapi sangat mungkin bahwa hal ini akan terjadi dalam waktu tidak lama lagi.
Pandangan susifoid dan parasentral paling jelas menampakan defek sekat ventrikel, aorta yang menggeser ke kanan (overriding) dan obstruksi saluran aliran ke luar ventrikel kanan. Cabang arteri pulmonalis biasanya terlihat pada pandangan sumbu-pendek parasternal dan suprasternal. Anatomi arteria koronaria kiri dapat terlihat pada pandangan sumbu-pendek parasternal atau pandangan sumbu-panjang yang ditunjukan ke arah bahu kiri. Akan tetapi, ketika penderita menjadi lebih tua dan lebih besar, ketajaman ekokardiografi menghilang dan angiokardiografi menjadi keharusan.
4. Kateterisasi jantung
Dengan diagnosis elektrokardografi tetralogi fallot yang dapat dindalkan, hanya sedikit atau bahkan tidak perlu diadakan kateterisasi jantung dan angiografi jika direncanakan operasi shunt. Bila operasi perbaikan akan dilaksanakan, angiografi diperlukan untuk memperjelas masalah seperti:
1. adakah defek sekat ventrikel tambahan (5%)?
2. adakah arteri koronaria menyilang saluran ke luar ventrikel kanan (5%)?
3. adakah stenosis pulmonal perifer (28%)?
Jika ada, salah satu dari kelainan ini dapat menjadi masalah pada operasi perbaikan atau pada masa pasca bedah. Walaupun pada rincian ini dapat dipastikan dengan ekokardiografi pada keandalan relatif tinggi, harga yang tinggi untuk salah diagnosis mengharuskan perlunya kateterisasi jantung sebelum pembedahan.

DIAGNOSA
Pada pemeriksaan dengan stetoskop biasanya akan terdengar murmur (bunyi jantung yang abnormal).
Pemeriksaan yang biasa dilakukan:
• EKG
• Pemeriksaan darah lengkap menunjukkan adanya peningkatan jumlah sel darah merah dan hematokrit
• Rontgen dada menunjukkan ukuran hati yang kecil dan adanya hipertrofi ventrikel kanan (jantung berbentuk sepatu bot)
• Kateterisasi jantung
• Ekokardiogram.
PENGOBATAN
Pada serangan sianosis, diberikan oksigen dan morfin. Untuk mencegah serangan lainnya, untuk sementara waktu bisa diberikan propanolol. Selain itu jika terjadi serangan sianosis diberi penyekat beta dan analgesik.
Pembedahan untuk memperbaiki kelainan jantung ini biasanya dilakukan ketika anak berumur 3-5 tahun (usia pra-sekolah). Pada kelainan yang lebih berat, pembedahan bisa dilakukan lebih awal.
Pembedahan yang dilakukan terdiri dari 2 tahap:
1. Pembedahan sementara
Pembuatan shunt bisa terlebih dahulu dilakukan pada bayi yang kecil dan sangat biru, agar aliran darah ke paru-paru cukup. Shunt dibuat diantara aorta dan arteri pulmonalis. Setelah bayi tumbuh cukup besar, dilakukan pembedahan perbaikan untuk menutup kembali shunt tersebut.
2. Pembedahan perbaikan terdiri dari:
a. penutupan VSD
b. pembukaan jalur aliran ventrikel kanan dengan cara membuang sebagian otot yang berada di bawah katup pulmonalis
c. perbaikan atau pengangkatan katup pulmonalis
d. pelebaran arteri pulmonalis perifer yang menuju ke paru-paru kiri dan kanan.
e. Kadang diantara ventrikel kanan dan arteri pulmonalis dipasang sebuah selang (perbaikan Rastelli). Jika tidak dilakukan pembedahan, penderita biasanya akan meninggal pada usia 20 tahun.

Penatalaksanaan medis
1. Serangan sianosis
Serangan sianosi merupakan penyebab keprihatinan. Pada mulanya ibu hanya membuat bayi nyaman, dimana posisi lutut-dada merupakan penanganan yang efektif. Semua penanganan yang tidak menyenangkan agaknya memperburuk serangan sianosis. Dengan demikian, injeksi, terapi tusuk jari, terapi intravenosa, atau pengekangan akan memperburuk keadaan. Tindakan yang hanya menyamankan bayi ditinggalkan dan penanganan bayi yang lebih agresif yang dilakukan merupakan masalah pertimbangan dan informasi dari anak. Adalah masalah yang perlu diperhatikan bahwa ibu melaporkan serangan kumat-kumatan di rumah yang ditatalaksana dengan berhasil tapi ditemukan bahwa serangan pertama di rumah sakit adalah kejadian yang membuat gugup yang kemudian berakhir dengan disedasi, diintubasi, pemberian makan secara intravena, dan kurarisasi. Pada waktu bangun biasanya bayi tersebut biasanya mengalami serangan lain sesudah menyadari lingkungan yang aneh. Bentuk penanganan ini menyebabkan pembedahan dilakukan pada hari masuk tersebut kadang tidak dapat untuk dihindari.
Pengobatan serangan sianosis yang berguna adalah morfin, obat yang spesifik untuk masalah ini, dan propanol. Morfin menekan rasa tercekik dan menghilangkan rasa takut, sedangkan propanol mengendorkan spasme infundibulum, kadang-kadang dengan pengaruh yang menguntungkan yang dramatis pada saturasi oksigen arteri. Biasanya oksigen digunakan tetapi oksigen ini mempunyai sedikit pengaruh yang dapat diperagakan. Dalam menit awal serangan berat menyebabkan asidosis metabolik, yang dapat dikendalikan dengan natrium bikarbonatintravena dalam dosis berulang jika serangan berlanjut. Pada umumnya penanganan yang agresif mengikatkan penderita ke pembedahan selama perawatan rumah sakit, karena penanganan itu sendiri dapat memperburuk anak, menimbulkan serangan yang lebih banyak.
2. Pemilihan waktu Kateterisasi Jantung
Bayi sianosis tidak bergejala yang tumbuh dan bertambah berat dilakukan kateterisasi jantung secara efektif pada awal masa bayi untuk memperjelas anatomi koronaria, untuk mengesampingkan kemungkinan defek sekat ventrikel tambahan dan untuk mengukur stenosis pulmonal perifer yang mungkin. Pada umumnya lebih banyak digunakan kateterisasi lebih awal daripada kemudian, untuk menghindari serangan sianosis di laboratorium. Meskipun demikian anak yang telah menderita serangan diperiksa kateterisasi jantung tetapi dengan sangat hati-hati.
3. Pembedahan
Dalam beberapa pengecualian bayi yang mempunyai gejala dirujuk ke pembedahan untuk perbaikan. Tanpa gejala dan masalah teknik yang telah diperhitungkan, perbaikan elektif dilakukan pada hari ulang tahun pertama. Perbailan terdiri atas irisan ventrikel kanan, tambalan untuk menutup defek ventrikel, dan paling sering tambalan saluran keluar transanular.
Pembedahan untuk anak yidak bergejala yang mempunyai ”koronaria konus” menyilangi saluran aliran ke luar ventrikel kanan ditunda sampai umur 3-4 tahun, karena mungkin diperlukan saluran antara ventrikel kanan dan batang arteria pulmonalis untuk menghindari anomali koronaria.. makin besar anak maka makin besar saluran yang dapat digunakan dan makin lama kemungkinan untuk bertahan. Pada umur 4 tahun saluran yang besar dapat dimasukan agar dapat bertahan sekitar 5-10 tahun. Bila pembedahan diperlukan karena gejala, pilihan terletak antara shunt arteria sistemik-arteria pulmonalis atau perbaikan dengan menggunakan saluran. Alasan untuk operasi shunt adalah bahwa operasinya lebih aman, lebih cepat dan kurang traumatis.

UJI LABORATORIUM DAN DIAGNOSTIK
1. Sinar-X pada toraks, menunjukkan peningkatan atau penurunan aliran pulmoner.
2. EKG, menunjukkan hipertrofi ventrikel kanan, hipertrofi ventrikel kiri, atau keduanya.
3. Nilai gas darah arteri, aliran darah pulmoner obstruktif (peningkatan PCO2, penurunan PO2, dan penurunan pH).
4. Hematokrit atau hemoglobin, memantau viskositas darah dan mendeteksi adanya anemia defisiensi besi.
5. Ekokardiogram, mendeteksi defek septum, posisi aorta, dan stenosis pulmoner.
6. Kateterisasi jantung, peningkatan tekanan sistemik dalam ventrikel kanan, penurunan tekanan arteri pulmoner dengan penurunan saturasi hemoglobin arteri.
7. Jumlah trombosit, menurun
8. Uji telan barium, menunjukkan pergeseran trakea dari garis tengah kea rah kiri.
9. Radiogram abdomen, mendeteksi kemungkinan adanya kelainan congenital lain.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN TETRALOGI FALLOT

PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Kaji tingkat aktivitas dan tahap perkembangan anak (prabedah).
2. Kaji adanya perubahan status kardiopulmoner.
3. Kaji adanya tanda dan gejala masalah kolaboratif potensial (komplikasi): perdarahan, gagal jantung kongestif, aritmia, regurgitasi pulmoner persisten, curah jantung rendah, hipertensi pulmoner, efusi pleura, gangguan keseimbangan elektrolit, kelebihan cairan, hepatomegali, dan komplikasi neurologik.
4. Kaji adanya nyeri pascabedah.

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Intoleransi aktivitas
2. Ansietas
3. Takut
4. Penurunan curah jantung
5. Perubahan perfusi jaringan
6. Kelebihan volume cairan
7. Risiko tinggi infeksi
8. Risiko tinggi cedera
9. Perubahan proses keluarga
10. Koping individu tidak efektif
11. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
12. Risiko tinggi perubahan pertumbuhan dan perkembangn
13. Risiko tinggi penatalaksanaan program teraupetik tidak efektif

INTERVENSI KEPERAWATAN
Perawatan Pemeliharaan
1. Pantau adanya perubahan status kardiopulmoner.
2. Pantau dan pertahankan status nutrisi.
a. Asupan dan keluaran; berat jenis
b. Tanda-tanda dehidrasi
3. Pantau respon anak terhadap pengobatan
a. Besi, untuk anemia defisiensi besi dan polisitemia
b. Antibiotic, diberikan sebelum, selama, dan sesudah pembedahan sebagai profilaksis terhadap endokarditis bacterial subakut.
c. Diuretic furosemid, untuk gagal jantung kongesti sebelumatau sesudah pembedahan.
d. Digitalis, untuk gagal jantung kongesti sebelum dan sesudah pembedahan.
e. Morfin, untuk mengatasi serangan hipersianosis.
f. Propranolol, untuk mengatasi serangan hipersianosis (penatalaksanaan jangka panjang).
g. Natrium bikarbonat, jika timbul asidosis yang dilaporkan.
4. Memberi makanan tinggi zat besi (untuk mengobati anemia defisiensi besi) dan protein (untuk meningkatkan penyembuhan).
a. Sereal, kuning telur, dan daging
b. Suplemen besi
5. Beri tambahan oksigen bila perlu dan pantau respon anak.
a. Pantau status pernapasan
b. Pantau warna
c. Gunakan dan pertahankan alat respiratori (masker, ventilator, atau tent oksigen)
6. Lindungi anak dari kontak dengan potensi infeksi dan tingkatkan praktik pencegahan (untuk mencegah endokarditis bacterial subakut).
a. Lakukan screening pengunjung terhadap infeksi.
b. Beri instruksi pada anak dan keluarga tentang perawatan yang baik.
1) Menyikat dan membersihkan gigi
2) Pentingnya memeriksakan gigi untuk mendeteksi adanya karies dan infeksi gusi
3) Pentingnya profilaksis antibiotic sebelum pencabutan gigi
4) Amati dengan cermat adanya demam dan abrasi secara berkala untuk pemberian profilaksis antibiotic.
7. Pantau adanya tanda-tanda komplikasi dan respon anak terhadap program pengobatan.
a. Asidosis
b. Anemia
c. Abses otak
8. Observasi adanya kerusakan nervus frenikus dan paralysis diafragma.
9. Observasi adanya komplikasi pernapasan.

Perawatan Prabedah
1. Siapkan anak untuk pembedahan dengan memperoleh data pengkajian.
a. Pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, glukosa serum, dan nitrogen urea darah (BUN).
b. Elektrolit dasar
c. Koagulasi darah
d. Golongan darah dan pencocokan silang
e. Sinar-X toraks dan EKG
2. Beri penjelasan tentang persiapan bedah sesuai denagn usia anak.
3. Jangan ukur tekanan darah atau mengambil darah arteri pada lengan dengan pirau potensial.

Perawatan Pascabedah
1. Kaji status klinik anak.
a. Perhatikan nadi, tekanan darah arteri, tekanan nadi
b. Perhatikan sianosis
c. Kaji adanya sindrom Horner
2. Pantau adanya komplikasi pascabedah pada anak.
a. Perdarahan
b. Gagal jantung kongesti
c. Peningkatan aliran darah pulmoner dan hipertensi pulmoner
3. Pantau respon anak terhadap pemberian obat digitalis dan diuretic diberikan jika perlu.
4. Pantau dan pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
a. Pantau adanya tanda-tanda dehidrasi, kurang air mata, kulit kendur, berat jenis lebih dari 1, 020, dan penurunan keluaran urin atau berat badan.
b. Pantau cairan pada 50% sampai 75% volume rumatan selama 24 jam pertama.
5. Tingkatkan dan pertahankan status respiratori yang optimal.
a. Lakukan perkusi dan drainase postural setiap dua sampai empat jam.
b. Gunakan pengisapan bila perlu
c. Gunakan spirometer setiap 1 sampai 2 jam selama 24 jam kemudian setiap 4 jam.
6. Pantau dan redakan rasa sakit anak.

HASIL YANG DIHARAPKAN
1. Tanda-tanda vital anak berada dalam batas normal sesuai dengan usia.
2. Anak berpartisipasi dalam aktivitas fisik yang sesuai dengan usia.
3. Anak bebas dari komplikasi pascabedah.

SKOLIOSIS

SKOLIOSIS


DEFINISI
Skoliosis adalah kelengkungan tulang belakang yang abnormal ke arah samping, yang dapat terjadi pada segmen servikal (leher), torakal (dada) maupun lumbal (pinggang). Sekitar 4% dari seluruh anak-anak yang berumur 10-14 tahun mengalami skoliosis; 40-60% diantaranya ditemukan pada anak perempuan
Bertahun-tahun yang lalu, Bapak Ilmu Kedokteran, Hippocrates, menggunakan istilah skoliosis bagi lengkungan tulang belakang dan mencoba mengobati penderitanya dengan alat penopang atau penyangga. Sekarang, orang masih tetap menggunakan istilah skoliosis namun dengan pengertian yang berbeda, yaitu sebagai lengkungan ke samping dalam tulang belakang. Umumnya, tanda-tanda skoliosis yang bisa diperhatikan yaitu tulang bahu yang berbeda, tulang belikat yang menonjol, lengkungan tulang belakang yang nyata, panggul yang miring, perbedaan ruang antara lengan dan tubuh.
Istilah skoliosis kini bermakna sebagai lengkungan ke samping dalam tulang belakang. Hal ini untuk membedakan bentuk lengkungan tulang belakang yang memang ke arah depan dan belakang. Cara pengobatannya pun kini lebih bervariasi. Dalam tingkat yang masih ringan, skoliosis seringkali tidak menimbulkan masalah, namun bila lengkungan ke samping itu terlalu parah, akan menyebabkan cacat bentuk tulang belakang yang cukup berat dan bisa mengganggu fungsi tubuh lainnya seperti jantung dan paru-paru.
Pada skoliosis, pembengkakan terjadi karena berbagai sebab. Misalnya, karena sikap tubuh salah yang terus menerus pada saat bekerja. Atau bisa seseorang berjalan miring demi mencegah rasa sakit. Misalnya, sebagai akibat kelumpuhan atau luka karena kecelakaan.
Kelainan bentuk samping tulang belakang pada skoliosis disebabkan oleh gangguan pada tulang kaki, pinggul atau tulang belakang. Bisa juga akibat penyakit tulang tertentu seperti rachitis. Kelumpuhan atau rasa sakit pada beberapa otot tulang belakang akan mempengaruhi letak kedudukannya. Tapi, beberapa orang yang bahunya miring belum tentu karena skoliosis, melainkan sekadar kebiasaan saja.
Secara umum, skoliosis dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu reversibel (dapat kembali) dan nonreversibel (tak dapat kembali). Skoliosis reversibel bisa disebabkan oleh sikap tubuh yang buruk, rasa sakit dan kejang otot di sekitar saraf tulang belakang, rasa sakit akibat peradangan dan kanker tulang belakang. Infeksi saluran pencernaan seperti usus buntu atau infeksi di sekitar ginjal juga dapat menimbulkan skoliosis reversibel. Penyebab lainnya adalah panjang tungkai yang berbeda.
Dari seluruh kasus skoliosis, 85% di antaranya berupa nonreversibel yang penyebabnya tidak dapat dideteksi. Jenis ini terbagi lagi dalam tiga kelompok yaitu jenis infantil yang muncul pada bayi sejak lahir hingga usia 3 tahun, jenis juvenil pada anak usia 4-9 tahun, dan jenis adolesen pada remaja usia 10 tahun hingga akhir masa pertumbuhan.
Skoliosis yang disebabkan oleh kelainan bentuk tulang bisa bersifat bawaan, misalnya bentuk tulang belakang yang tidak normal atau bisa juga merupakan bentuk yang didapat, misalnya karena patah atau bergesernya tulang belakang. Selain itu, skoliosis juga bisa disebabkan oleh kekurangan mineral atau kelainan pada dada.





ETIOLOGI
Terdapat 3 penyebab umum dari skoliosis:
1. Kongenital (bawaan), biasanya berhubungan dengan suatu kelainan dalam pembentukan tulang belakang atau tulang rusuk yang menyatu
2. Neuromuskuler, pengendalian otot yang buruk atau kelemahan otot atau kelumpuhan akibat penyakit berikut:
- Cerebral palsy
- Distrofi otot
- Polio
- Osteoporosis juvenil
3. Idiopatik, penyebabnya tidak diketahui.

GEJALA
Gejalanya berupa:
1. tulang belakang melengkung secara abnormal ke arah samping
2. bahu dan/atau pinggul kiri dan kanan tidak sama tingginya
3. nyeri punggung
4. kelelahan pada tulang belakang setelah duduk atau berdiri lama
5. skoliosis yang berat (dengan kelengkungan yang lebih besar dari 60°) bisa menyebabkan gangguan pernafasan.
Kebanyakan pada punggung bagian atas, tulang belakang membengkok ke kanan dan pada punggung bagian bawah, tulang belakang membengkok ke kiri; sehingga bahu kanan lebih tinggi dari bahu kiri. Pinggul kanan juga mungkin lebih tinggi dari pinggul kiri.

PATOFISIOLOGI
Masalah pada saraf juga dapat menyebabkan timbulnya skoliosis. Misalnya, karena pembentukan urat saraf tulang belakang yang tidak normal dan terdapat benjolan di sepanjang perjalanan saraf. Penyebab lain misalnya penyakit saraf yang didapat seperti poliomielitis dan paraplegia -- kelumpuhan pada seluruh bagian tubuh termasuk kedua tungkai bawah. Skoliosis kadang-kadang juga disebabkan pembentukan otot yang tidak normal.
Semua jenis skoliosis nonreversibel bisa berakibat serius bila tidak diperhatikan. Untuk itu, diperlukan perawatan khusus oleh dokter ahli bedah tulang.

MANIFESTASI KLINIS
Yang terpenting untuk diperhatikan mengenai skoliosis adalah bahwa keluhan tersebut akan semakin berat seiring dengan berjalannya pertumbuhan tulang. Makin besar tulang belakang melengkung menyebabkan gangguan pertumbuhan pada tulang rusuk maupun tulang belakang. Ketidaklurusan tulang belakang ini akhirnya akan menyebabkan nyeri persendian di daerah tulang belakang pada usia dewasa dan kelainan bentuk dada yang dapat mengganggu fungsi jantung dan paru-paru, sehingga mempercepat kematian.
Skoliosis dengan penyebab yang tidak diketahui timbul secara perlahan-lahan tanpa adanya rasa sakit. Jika terdapat rasa sakit pada remaja yang sedang mengalami perkembangan skoliosis, segeralah memeriksakannya ke dokter untuk mengidentifikasi penyebabnya. Pada tahap perkembangan dini, skoliosis terlihat berupa perubahan kecil pada penampakan jasmani. Misalnya, Anda bisa mengamati salah satu bahu yang tampak lebih tinggi atau tulang belikat yang satu tampak lebih menonjol dibandingkan dengan yang lain.
Umumnya, tanda-tanda skoliosis yang bisa diperhatikan yaitu tulang bahu yang berbeda, tulang belikat yang menonjol, lengkungan tulang belakang yang nyata, panggul yang miring, perbedaan ruang antara lengan dan tubuh. Pemeriksaan lain yang sangat membantu dalam menangani skoliosis ini adalah foto rontgen tulang belakang. Dari foto rontgen dapat diukur derajat banyaknya lengkungan yang tidak normal.
Selama itu, salah satu cara terbaru untuk mengawasi perkembangan skoliosis adalah dengan topografi Moire, yaitu suatu pemotretan khusus yang memungkinkan pengamatan tentang perbedaan pada permukaan tubuh tanpa menimbulkan risiko.
Cacat bentuk pada skoliosis bertambah sesuai dengan pertumbuhan badan. Karenanya, faktor terpenting dalam menilai kemungkinan hasil akhir skoliosis adalah jumlah pertumbuhan yang tersisa. Makin berat lengkungan, besar kemungkinan untuk bertambah parah. Hal ini berarti bahwa lengkungan ringan yang dijumpai pada seorang anak perempuan berusia 14 tahun mungkin tak akan banyak bertambah, sedangkan derajat kelengkungan sama yang dijumpai pada seorang anak perempuan berusia 10 tahun hampir pasti akan meningkat, terutama pada periode pertumbuhan.
Lengkungan skoliosis antara 20-40% pada anak yang belum dewasa merupakan indikasi perlunya pengobatan dengan alat penopang. Namun, bila kurang dari 20%, sepertinya belum perlu pengobatan khusus. Lengkungan di daerah dada yang besarnya lebih dari 60% lambat sembuh, karena fungsi jantung dan paru-paru terganggu. Karena itu, pada lengkungan besar diperlukan pengobatan dengan jalan operasi.
Pengobatan lainnya yang dilakukan tanpa operasi antara lain latihan jasmani yang dirancang khusus untuk mencegah terjadinya kelainan yang lebih berat. Hasilnya akan lebih efektif jika dikombinasikan dengan pemakaian semacam alat penopang. Alat penopang memberi antara tarikan dan penekanan samping pada lengkungan tulang belakang. Walaupun cara ini tidak memperbaiki lengkungan yang ada, tapi pada banyak kasus dapat mencegah kerusakan lebih lanjut selama masa pertumbuhan anak.
Perawatan dan penanganan skoliosis memerlukan pengawasan dan pengobatan dalam bentuk yang cukup lama, menemukan kelainan secara dini dan mengobatinya dengan segera akan mencegah berlanjutnya cacat bentuk akibat scoliosis
KENALI DAMPAK & CIRI
Skoliosis memang tidak menimbulkan rasa nyeri, namun dapat mengganggu rasa percaya diri anak. Yang pasti, skoliosis berbahaya bila terjadi dimasa pertumbuhan tulang. Pasalnya, selain akan semakin progresif, juga berpengaruh pada postur tubuh. Seperti jalan pincang karena pinggul tinggi sebelah. Atau bisa juga tubuhnya jadi membungkuk ke depan.
Disamping dapat juga menimbulkan gangguan sistem kardiovaskuler/jantung dan pernapasan. Bengkoknya tulang belakang juga bisa mengakibatkan volume paru-paru ataupun rongga dada jadi berkurang mengingat sebagian tulang bengkoknya mengambil ruang/tempat paru-paru. Gejalanya berupa sesak napas, karena kemampuan paru-paru menurun.
BISA DIKOREKSI
Pada dasarnya, semakin ringan derajat skoliosis (terutama yang bukan disebabkan oleh kelainan pembentukan tulang belakang), semakin terbuka pula kemungkinan untuk dilakukan koreksi. Oleh karena itu, deteksi dini sangat penting untuk menentukan tingkat keberhasilan koreksi.
Sementara berhasil tidaknya tindakan koreksi sangat bergantung pada parah tidaknya sudut skoliosis yang terbentuk dan disiplin anak untuk mengikuti program terapi. Pada skoliosis ringan cukup diberikan latihan untuk mengoreksi postur dan melakukan senam khusus untuk penderita skoliosis yang harus dilakukan setiap hari. Gerakan latihan terutama ditujukan pada wilayah sekitar bahu, punggung hingga ke tulang panggul.
Sedangkan untuk skoliosis sedang perlu dilakukan bracing. Yakni pemasangan alat khusus belakang yang terbuat dari fiber atau stainless steel guna mengoreksi tulang. Alat yang harus dipakai selama 22 jam sehari ini berfungsi menyangga tubuh dengan harapan mampu mencegah dan menahan tulang belakang agar tak semakin bertambah bengkok.
Sedangkan mengenai panjangnya brace, tergantung wilayah yang hendak dikoreksi. Bila pada wilayah toraks maka brace digunakan dari atas leher. Sedangkan jika koreksinya dari toraks sampai lumbal, maka brace dipasang dari daerah atas kemaluan atau dekat tulang panggul sampai dada. Pamakaian brace ini biasanya berlangsung hingga pertumbuhan tulang terhenti atau kira-kira pada usia 17¬18 tahun. Memang, Pada si pemakai, penggunaan alat ini umumnya menimbulkan rasa tidak nyaman, terutama saat beraktivitas. Namun, inilah cara terbaik untuk mencegah kerusakan yang lebih parah.
Peluang kesembuhan amat tergantung pada kedisiplinan yang bersangkutan mengenakan brace. Selain biasanya perlu ditunjang pula dengan melakukan senam khusus demi mendukung keberhasilan tindakan koreksi. Senam skoliosis ini diharapkan dapat menguatkan otot-otot punggung dan pinggang. Khusus untuk skoliosis yang kebengkokannya mencapai lebih dari 40 derajat, dianjurkan untuk menjalani operasi oleh dokter bedah tulang. Tujuannya agar tulang belakang dapat stabil dan skoliosis tidak bertambah berat.

MANIFESTASI KLINIS
Ada beberapa ciri yang patut dicermati, berikut beberapa di antaranya:
* Riwayat skoliosis dalam keluarga.
* Nyeri pada pinggang/punggung anak.
* Adanya tanda berupa bercak-bercak cokelat pada kulit.
* Pundak tidak sama tinggi.
* Pinggul tidak sama tinggi.
* Tulang belikat menonjol sebelah.
* Jarak antara lengan dan pinggang kanan maupun kiri tidak sama.

KOMPLIKASI
Kerusakan paru-paru dan jantung. Ini terjadi jika tulang belakang membengkok melebihi 70 derajat. Tulang rusuk akan menekan paru-paru dan jantung, menyebabkan pasien sulit bernafas dan cepat lelah. Jantung juga akan mengalami kesulitan dalam memompa darah. Dalam keadaan ini, pasien lebih rentan terhadap penyakit paru-paru dan pneumonia.
1. Sakit tulang belakang. Semua pasien, baik dewasa maupun kanak-kanak, berisiko tinggi mengalami masalah sakit belakang kronik. Jika tidak ditangani, pasien mungkin bisa merasa sakit pada sendi. Tulang belakang juga mengalami lebih banyak masalah apabila pasien berumur 50 atau 60 tahun.
2. Masalah imege. Biasanya pasien berasa rendah diri, malu dan kurang percaya diri untuk berhadapan dengan orang lain kerana badan mereka tidak seimbang, tinggi atau pendek sebelah.
3. Kemurungan. Ini merupakan masalah psikologi yang paling dikhawatirkan tenaga kesehatan. Pasien akan lebih mudah mengalami kemurungan dan rasa sedih
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pada pemeriksaan fisik penderita biasanya diminta untuk membungkuk ke depan sehingga pemeriksa dapat menentukan kelengkungan yang terjadi.
Pemeriksaan neurologis (saraf) dilakukan untuk menilai kekuatan, sensasi atau refleks.
Pemeriksaan lainnya yang biasa dilakukan:
• Rontgen tulang belakang
• Pengukuran dengan skoliometer (alat untuk mengukur kelengkungan tulang belakang)
• MRI (jika ditemukan kelainan saraf atau kelainan pada rontgen).

PENGOBATAN
Pengobatan yang dilakukan tergantung kepada penyebab, derajat dan lokasi kelengkungan serta stadium pertumbuhan tulang. Jika kelengkungan kurang dari 20°, biasanya tidak perlu dilakukan pengobatan, etapi penderita harus menjalani pemeriksaan secara teratur setiap 6 bulan.
Pada anak-anak yang masih tumbuh, kelengkungan biasanya bertambah sampai 25-30°, karena itu biasanya dianjurkan untuk menggunakan brace (alat penyangga) untuk membantu memperlambat progresivitas kelengkungan tulang belakang. Brace dari Milwaukee & Boston efektif dalam mengendalikan progresivitas skoliosis, tetapi harus dipasang selama 23 jam/hari sampai masa pertumbuhan anak berhenti.
Brace tidak efektif digunakan pada skoliosis kongenital maupun neuromuskuler. Jika kelengkungan mencapai 40° atau lebih, biasanya dilakukan pembedahan.
Pada pembedahan dilakukan perbaikan kelengkungan dan peleburan tulang-tulang. Tulang dipertahankan pada tempatnya dengan bantuan 1-2 alat logam yang terpasang sampai tulang pulih.
Sesudah dilakukan pembedahan mungkin perlu dipasang brace untuk menstabilkan tulang belakang Kadang diberikan perangsangan elektrospinal, dimana otot tulang belakang dirangsang dengan arus listrik rendah untuk meluruskan tulang belakang.
Pengobatan lainnya yang dilakukan tanpa operasi antara lain latihan jasmani yang dirancang khusus untuk mencegah terjadinya kelainan yang lebih berat. Hasilnya akan lebih efektif jika dikombinasikan dengan pemakaian semacam alat penopang. Alat penopang memberi antara tarikan dan penekanan samping pada lengkungan tulang belakang. Walaupun cara ini tidak memperbaiki lengkungan yang ada, tapi pada banyak kasus dapat mencegah kerusakan lebih lanjut selama masa pertumbuhan anak.
Perawatan dan penanganan skoliosis memerlukan pengawasan dan pengobatan dalam bentuk yang cukup lama, menemukan kelainan secara dini dan mengobatinya dengan segera akan mencegah berlanjutnya cacat bentuk akibat skoliosis

PENGKAJIAN SKOLIOSIS
1. Fungsi Motorik Kasar
a. Ukuran otot, adanya atrofi atau hipertrofi otot, kesimetrisan massa otot
b. Tonus otot, spastisitas, flaksiditas, rentang gerak terbatas
c. Kekuatan
d. Gerakan abnormal, tremor, distonia, atetosis
2. Fungsi motorik halus
a. Manipulasi mainan
b. Menggambar
3. Gaya berjalan, ayunan lengan dan kaki, gaya tumit jari.
4. Kontrol postur
a. Mempertahankan posisi tegak
b. Adanya ataksia
c. Bergoyang-goyang
5. Persendian
a. Rentang gerak
b. Kontraktur
c. Merah, edema, rasa sakit
d. Tonjolan abnormal
6. Tulang belakang
a. Lengkung tulang belakang
b. Adanya lesung pilokondial
7. Pinggul
a. Abduksi
b. Rotasi internal

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Kurang perawatan
2. Resiko tinggi cidera
3. Resiko tinggi kerusakan mobilitas fisik
4. Resiko tinggi gangguan pertukaran gas
5. Resiko tinggi kekurangan volume cairan
6. Nyeri
7. Resiko tinggi penatalaksanaan program terapeutik tidak efektif
8. Resiko tinggi gangguan citra diri

INTERVENSI KEPERAWATAN
Perawatan Prabedah
1. Siapkan anak dan keluarga sebelum pelaksanaan prosedur untuk rangkai kejadian dan sensasi yang akan dialaminya.
a. Hitung darah lengkap (HDL) untuk mengkaji adanya anemia
b. Kimia darah untuk mengkaji adanya ketidakseimbangan elektrolit
c. Pemeriksaan koagulasi
d. Pemeriksaan tengkorak dengan sinar X
e. Uji fungsi pulmoner untuk mengkaji adanya komplikasi pulmoner
f. Nilai gas darah arteri untuk mengkaji adanya komplikasi pulmoner
g. Mielografi untuk mengesampingkan kemungkinan abnormalitas genitourinaria dan neurologis
h. Pemeriksaan spinal dengan sinar X untuk mengkaji kurvatura spinal
2. Siapkan anak untuk pembedahan
3. Orientasikan anak pada unit perawatan intensif dan prosedur-prosedur pengobatan yang digunakan pada masa pasca bedah
Perawatan Pascabedah
1. Pantau adanya tanda-tanda dan gejala komplikasi potensial
a. Pantau jalur arteri
b. Pantau suhu, pernapasan, tekanan darah, dan nadi setiap 1 sampai 2 jam sampai stabil, kemudian setiap 4 jam.
c. Auskultasi bunyi napas, laporkan adanya perubahan dalam status pernapasan (peningkatan respirasi, peningkatan kongesti, perubahan warna, nyeri dada, dispnea)
d. Pantau adanya trauma saraf spinalis, observasi ekstremitas bawah untuk kehangatan, sensasi, gerakan, nadi, dan nyeri.
e. Pantau adanya ileus paralitik
f. Pantau balutan untuk keutuhan dan tanda-tanda komplikasi.
- Perhatikan adanya perdarahan sepanjang daerah insisi
- Pantau adanya tanda-tanda infeksi
2. Tingkatkan kesejajaran tubuh yang benar
a. Miringkan anak setiap 2 jam (hanya boleh dilakukan log roll)
b. Pantau adanya area yang memerah atau tertekan
c. Jaga agar anak tetap berbaring datar di tempat tidur sampai dokter instruksikan untuk beraktifitas (berbaring datar dengan hanya dilakukan log roll, sampai jaket tubuh tiba (anak tidak selalu diberi balok Harrington karena anak akan dapat turun dari tempat tidur 2 sampai 4 hari setelah pembedahan)
d. Lakukan latihan rentang gerak pasif pada hari kedua pascabedah
3. Tingkatkan ventilasi pulmoner
a. Pantau tanda-tanda vital setiap 2 jam
b. Minta anak untuk batuk, miring, dan menarik napas dalam setiap 2 jam
c. Gunakan spirometer insentif setiap 2 jam
d. Pantau status pernapasan setiap 2 jam sampai stabil, baru kemudian setiap 4 jam.
4. Pantau keseimbangan cairan dan elektrolit
a. Pantau dan catat asupan dan keluaran cairan intravena, urin, drainase nasogastrik
b. Pantau bisisng usus
c. Pantau adanya tanda-tanda dan gejala dehidrasi dan kelebihan cairan (dehidrasi penurunan keluaran urun, peningkatan berat jenis, kulit liat, membran mukosa kering, kelebihan cairan, peningkatan nadi apikal, peningkatan frekuensi napas, kongesti pulmonal, dispnea, edema (awalnya terjadi pada ekstremitas)

HIDROSEPHALUS

Hidrocephalus

Hidrosefalus masih merupakan suatu masalah penting dalam dunia kedokteran terutama bila dikaitkan terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak karena terjadinya gangguan pertumbuhan otak, sehingga otomatis bila tidak ditangani secara cepat dan tepat akan dapat menimbulkan gangguan dalam pertumbuhan dan perkembangan yang lebih parah lagi, bahkan menjadi kasus yang lebih berat dan dapat berakibat fatal. Secara statistik ditemukan bahwa dengan penanganan bedah dan penatalaksanaan medis yang baik sekalipun, didapatkan hanya sekitar 40% dari penderita hidrosefalus mempunyai kecerdasan yang normal dan sekitar 60% mengalami cacat kecerdasan dan fungsi motorik yang bermakna. Dari data statistik tersebut dapat dilihat bahwa walaupun dengan penanganan bedah saraf dan penatalaksanaan bedah saraf dan penatalaksanaan medis yang baik ternyata sekitar 60% penderita masih memiliki sekuel gangguan yang cukup bermakna.
Seorang anak dapat menderita hidrosefalus karena berbagai sebab, baik itu secara kongenital maupun akuisita. Di Indonesia sendiri kasus hidrosefalus mencapai kurang lebih dua kasus per seribu kelahiran (Harsono, 1996). Data ini menunjukan bahwa kasusu hidrosefalus termasuk kasus yang jarang terjadi di Indonesia. Walaupun demikian kasus hidrosefalus tetap merupakan masalah dalam dunia kedokteran, baik itu mengenai tumbuh kembang anak, keberhasilan di dalam terapi bedah, maupun masalah psikologis anak di masa yang akan datang. Melihat dari manifestasi klinis penyakit ini, masalah yang sering kali timbul adalah terutama mengenai progresivitas penyakit itu sendiri.
Sebagian dari kasus hidrosefalus dapat berhenti sendiri, dalam arti lingkar kepala tidak bertambah besar, dan sebagian kasus lainnya mempunyai progresivitas yang tinggi, dimana lingkar kepala bertambah secara progresif karena terjadi sumbatan aliran cairan serebrospinal maupun produksinya sendiri yang bertambah. Gejala klinis anak hidrosefalus dapat bervariasi, mulai dari yang ringan sampai yang berat, tergantung dari penyebabnya. Gejala permulaan dari hidrosefalus seringkali tidak diketahui, sehingga seringkali penderita datang ke dokter sudah dalam keadaan terlambat. Selain itu faktor resiko hidrosefalus seringkali masih merupakan masalah yang awam bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia.

Definisi
Hidrosefalus adalah kelainan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan serebrospinal dengan atau pernah dengan tekanan intrakranial yang meninggi, sehingga terdapat pelebaran ventrikel (Hassan, 1983). Pelebaran ventrikuler ini akibat ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi cairan serebrospinal (Huttenlocher, 1983). Hidrosefalus bukan suatu penyakit yang berdiri sendiri. Sebenarnya, hidrosefalus selalu bersifat sekunder, sebagai akibat penyakit atau kerusakan otak. Adanya kelainan-kelainan tersebut menyebabkan kepala menjadi besar serta terjadi pelebaran sutura-sutura dan ubun-ubun (Wiknjosastro, 1994).

Epidemiologi
Thanman (1984) melaporkan insidensi hidrosefalus antara 0,2-4 setiap 1000 kelahiran. Raveley (1973) cit Yasa (1983) di Inggris melaporkan bahwa insidensi hidrosefalus kongenital adalah 0,5-1,8 pada setiap 1000 kelahiran dan 11%-43% disebabkan oleh stenosis aqueductus serebri. Hidrosefalus dengan meningomielokel, yaitu antara 4 per 1000 kelahiran di beberapa negara bagian wales dan Irlandia Utara sampai sekitar 0,2 per 1000 kelahiran di Jepang. Sedangkan insidensi hidrosefalus bentuk lainnya sekitar 1 per 1000 kelahiran. Stenosis akuaduktus ditemukan pada sekitar sepertiga anak dengan hidrosefalus (Huttenlocher, 1983).
Tidak ada perbedaan bermakna insidensi untuk kedua jenis kelamin, juga dalam hal perbedaan ras. Hidrosefalus dapat terjadi pada semua umur. Pada remaja dan dewasa lebih sering disebabkan oleh toksoplasmosis.
Hidrosefalus infantil; 46% diantaranya adalah akibat abnormalitas perkembangan otak, 50% karena perdarahan subaraknoid dan meningitis, dan kurang dari 4% akibat tumor fossa posterior (Harsono, 1996).

Etiologi
Hidrosefalus terjadi bila terdapat penyumbatan aliran cairan serebrospinal (CSS) pada salah satu tempat antara tempat pembentukan CSS dalam sistem ventrikel dan tempat absorbsi dalam ruang subaraknoid. Akibat penyumbatan, terjadi dilatasi ruangan CSS diatasnya (Hassan et al, 1985). Tempat predileksi obstruksi adalah foramen Monroe, foramen Sylvi’s, foramen Luschka, foramen Magendie, sisterna magna dan sisterna basalis (Harsono, 1996).
Teoritis pembentukan CSS yang terlalu banyak dengan kecepatan absorbsi yang normal akan menyebabkan terjadinya hidrosefalus, namun dalam klinik sangat jarang terjadi, misalnya terlihat pelebaran ventrikel tanpa penyumbatan pada adenomata pleksus koroidalis. Berkurangnya absorbsi CSS pernah dilaporkan dalam kepustakaan pada obstruksi kronik aliran vena otak pada trombosis sinus longitudinalis. Contoh lain ialah terjadinya hidrosefalus setelah operasi koreksi daripada spina bifida dengan meningokel akibat berkurangnya permukaan untuk absorbsi. Penyebab penyumbatan aliran CSS yang sering terdapat pada bayi dan anak ialah :
1. Kelainan Bawaan (Kongenital)
a. Stenosis akuaduktus Sylvii
Merupakan penyebab yang terbanyak pada hidrosefalus bayi dan anak (60-90%). Insidensinya berkisar antara 0,5-1 kasus/1000 kelahiran. Stenosis ini bukan berasal dari tumor. Ada tiga tipe stenosis
1. Gliosis akuaduktus: berupa pertumbuhan berlebihan dari glia fibriler yang menyebabkan konstriksi lumen.
2. Akuaduktus yang berbilah (seperti garpu) menjadi kanal-kanal yang kadang dapat tersumbat.
3. Obstruksi akuaduktus oleh septum ependim yang tipis (biasanya pada ujung kaudal).
4. Akuaduktus dapat merupakan saluran buntu sama sekali atau abnormal lebih sempit dari biasa. Umumnya gejala hidrosefalus terlihat sejak lahir atau progresif dengan cepat pada bulan-bulan pertama setelah lahir. Stenosis ini bisa disebabkan karena kelainan metabolisme akibat ibu menggunakan isotretionin (Accutane) untuk pengobatan acne vulgaris. Oleh karena itu penggunaan derivat retinol (vitamin A) dilarang pada wanita hamil. Hidrosefalus iatrogenik ini jarang sekali terjadi, hal ini dapat disebabkan oleh hipervitaminosis A yang akut atau kronis, di mana keadaan tersebut dapat mengakibatkan sekresi likuor menjadi meningkat atau meningkatnya permeabilitas sawar darah otak. Stenosis ini biasanya dapat bersamaan dengan malformasi lain seperti: malformasi Arnold chiari, ensefalokel oksipital (Lott et al, 1984).
b. Spina bifida dan kranium bifida
Hidrosefalus pada kelainan ini biasanya berhubungan dengan sindrom Arnold-Chiari akibat tertariknya medula spinalis dengan medula oblongata dan serebelum letaknya lebih rendah dan menutupi foramen magnum sehingga terjadi penyumbatan sebagian atau total. Anomali Arnold-chiari ini dapat timbul bersama dengan suatu meningokel atau suatu meningomielokel.
c. Sindrom Dandy-Walker
Malformasi ini melibatkan 2-4% bayi baru lahir dengan hidrosefalus. Etiologinya tidak diketahui. Malformasi ini berupa ekspansi kistik ventrikel IV dan hipoplasi vermis serebelum. Kelainan berupa atresia kongenital foramen Luschka dan Magendie dengan akibat hidrosefalus obstruktif dengan pelebaran sistem ventrikel terutama ventrikel IV yang dapat sedemikian besarnya hingga merupakan suatu kista yang besar di daerah fosa posterior. Hidrosefalus yang terjadi diakibatkan oleh hubungan antara dilatasi ventrikel IV dan rongga subarakhnoid yang tidak adekuat, dan hal ini dapat tampil pada saat lahir, namun 80% kasusnya biasanya tampak dalam tiga bulan pertama. Kasus semacam ini sering terjadi bersamaan dengan anomali lainnya seperti: agenesis korpus kalosum, labiopalatoskisis, anomali okuler, anomali jantung, dan sebagainya.
d. Kista araknoid
Dapat terjadi kongenital tetapi dapat juga timbul akibat trauma sekunder suatu hematoma.
e. Anomali pembuluh darah
Dalam kepustakaan dilaporkan terjadinya hidrosefalus akibat aneurisma arterio-vena yang mengenai arteria serebralis posterior dengan vena Galeni atau sinus transversus dengan akibat obstruksi akuaduktus
2. Infeksi
Akibat infeksi dapat timbul perlekatan meningen sehingga dapat terjadi obliterasi ruangan subaraknoid. Pelebaran ventrikel pada fase akut meningitis purulenta terjadi bila aliran CSS terganggu oleh obstruksi mekanik eksudat purulen di akuaduktus Sylvii atau sisterna basalis. Lebih banyak hidrosefalus terdapat pasca meningitis. Pembesaran kepala dapat terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan sesudah sembuh dari meningitisnya. Secara patologis terlihat penebalan jaringan piamater dan araknoid sekitar sisterna basalis dan daerah lain.
Pada meningitis serosa tuberkulosa, perlekatan meningen terutama terdapat di daerah basal sekitar sisterna kiasmatika dan interpedunkularis, sedangkan pada meningitis purulenta lokalisasinya lebih tersebar. Selain karena meningitis, penyebab lain infeksi pada sistem saraf pusat adalah karena toxoplasmosis (Ngoerah, 1991). Infeksi toxoplasmosis sering terjadi pada ibu yang hamil atau penderita dengan imunokompeten (Pohan, 1996). Penularan toxoplasmosis kepada neonatus didapat melalui penularan transplasenta dari ibu yang telah menderita infeksi asimtomatik. Dalam bentuk infeksi subakut, tetrade yang menyolok adalah perkapuran intraserebral, chorioretinitis, hidrosefalus atau mikrosefalus, dan gangguan psikomotor dan kejang-kejang (Pribadi, 1983).
3. Neoplasma
Hidrosefalus oleh obstruksi mekanik yang dapat terjadi di setiap tempat aliran CSS. Pengobatan dalam hal ini ditujukan kepada penyebabnya dan apabila tumor tidak mungkin dioperasi, maka dapat dilakukan tindakan paliatif dengan mengalirkan CSS melalui saluran buatan atau pirau. Pada anak yang terbanyak menyebabkan penyumbatan ventrikel IV atau akuaduktus Sylvii bagian terakhir biasanya suatu glioma yang berasal dari serebelum, sedangkan penyumbatan bagian depan ventrikel III biasanya disebabkan suatu kraniofaringioma.
4. Perdarahan
Telah banyak dibuktikan bahwa perdarahan sebelum dan sesudah lahir dalam otak, dapat menyebabkan fibrosis leptomeningen terutama pada daerah basal otak, selain penyumbatan yang terjadi akibat organisasi dari darah itu sendiri. Hal tersebut juga dapat dipicu oleh karena adanya trauma kapitis (Hassan et al, 1985).
Selanjutnya hidrosefalus dengan penyebab pertama tersebut diatas dikelompokan sebagai hidrosefalus kongenitus, sedangkan penyebab kedua sampai ke empat dikelompokkan sebagai hidrosefalus akuisita. Sebab-sebab prenatal merupakan faktor yang bertanggung jawab atas terjadinya hidrosefalus kongenital yang timbul in-utero dan kemudian bermanifestasi baik in-utero ataupun setelah lahir. Sebab-sebab ini mencakup malformasi (anomali perkembangan sporadis), infeksi atau kelainan vaskuler. Pada sebagian besar pasien banyak yang etiologinya tidak dapat diketahui, dan untuk ini diistilahkan sebagai hidrosefalus idiopatik. Dari bukti eksperimental pada beberapa spesies hewan mengisyaratkan infeksi virus pada janin terutama parotitis dapat sebagai faktor etiologi (Ngoerah, 1991).
Swaiman and Wright (1981) mengelompokkan etiologi hidrosefalus berdasarkan proses kejadiannya sebagai berikut
1. Kongenital
Agenesis korpus kalosum, stenosis akuaduktus serebri, anensefali dan disgenesis serebral, genetis.
2. Degeneratif
Histiositosis, inkontinensia pugmenti, dan penyakit Krebbe.
3. Infeksi
Post meningitis, TORCH, kista-kista parasit, lues kongenital.
4. Kelainan metabolisme
Penggunaan isotretionin (Accutane) untuk pengobatan akne vulgaris, antara lain dapat menyebabkan stenosis akuaduktus, sehingga terjadi hidrosefalus pada anak yang dilahirkan. Oleh karena itu penggunaan derivat retinol (vit. A) dilarang pada wanita hamil (Lott et al, 1984).
5. Trauma
Seperti pada perdarahan sebelum dan sesudah lahir dalam otak dapat menyebabkan fibrosis leptomeningen terutama pada daerah basal otak, disamping organisasi darah itu sendiri yang mengakibatkan terjadinya sumbatan yang mengganggu aliran CSS.
6. Neoplasma
Terjadinya hidrosefalus disini oleh karena obstruksi mekanis yang dapat terjadi di setiap aliran CSS, antara lain tumor ventrikel III, tumor fossa posterior, papilloma pleksus koroideus, leukemia, dan limfoma.
7. Gangguan vaskuler
Dilatasi sinus dural, trombosis sinus venosa, malformasi v. Galeni, malformasi arteriovenosa.

Patofisiologi dan Patogenesis
Ruangan CSS mulai terbentuk [ada minggu kelima masa embrio, terdiri dari sistem ventrikel, sisterna magna pada dasar otak dan ruang subarakhnoid yang meliputi seluruh susunan saraf. CSS yang dibentuk dalam sistem ventrikel oleh pleksus khoroidalis kembali ke dalam peredaran darah melalui kapiler dalam piamater dan arakhnoid yang meliputi seluruh susunan saraf pusat (SSP). Cairan likuor serebrospinalis ini terdapat dalam suatu sistem yang terdiri dari dua bagian yang berhubungan satu sama lainnya :
1. Sistem internal terdiri dari dua ventrikel lateralis, foramen-foramen interventrikularis (Monroe), ventrikel ke-3, akuaduktus Sylvii dan ventrikel ke-4.
2. Sistem eksternal terdiri dari ruang-ruang subaraknoid, terutama bagian-bagian yang melebar disebut sisterna. Hubungan antara sistem internal dan eksternal ialah melalui kedua apertura lateralis ventrikel ke-4 (foramen Luschka) dan foramen medialis ventrikel ke-4 (foramen Magendie).
Pada orang dewasa normal jumlah CSS 90-150 ml, anak umur 8-10 tahun 100-140 ml, bayi 40-60 ml, neonatus 20-30 ml dan pada prematur kecil 10-20 ml (Harsono, 1996). Cairan yang tertimbun dalam ventrikel biasanya antara 500-1500 ml, akan tetapi kadang-kadang dapat mencapai 5 liter (Wiknjosastro, 1994).
Aliran CSS yang normal ialah dari ventrikel lateralis melalui foramen monroe ke ventrikel III, dari tempat ini melalui saluran yang sempit akuaduktus Sylvii ke ventrikel IV dan melalui foramen Luschka dan Magendie ke dalam ruang subarakhnoid melalui sisterna magna. Penutupan sisterna basalis menyebabkan gangguan kecepatan resorbsi CSS oleh sistem kapiler.
Dalam keadaan normal tekanan likuor berkisar antara 50-200 mm, praktis sama dengan 50-200 mmH2O. Ruang tengkorak bersama dura yang tidak elastis merupakan suatu kotak tertutup yang berisikan jaringan otak dan medula spinalis sehingga volume otak total (kraniospinal) ditambah dengan volume darah dan likuor merupakan angka tetap (Hukum Monroe Kellie). Bila terdapat peningkatan volume likuor akan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Keadaan ini terdapat pada perubahan volume likuor, pelebaran dura, perubahan volume pembuluh darah terutama volume vena, perubahan jaringan otak (bagian putih otak berkurang pada hidrosefalus obstruktif). Pada umumnya volume otak serta tekanan likuor berubah oleh berbagai pengaruh sehingga volume darah selalu akan menyesuaikan diri (Harsono, 1996).
Hidrosefalus secara teoritis hal ini terjadi sebagai akibat dari tiga mekanisme yaitu:
1. Produksi likuor yang berlebihan
2. Peningkatan resistensi aliran likuor
3. Peningkatan tekanan sinus venosa
Sebagai konsekuensi dari tiga mekanisme di atas adalah peningkatan tekanan intrakranial sebagai upaya mempertahankan keseimbangan sekresi dan absorbsi. Mekanisme terjadinya dilatasi ventrikel masih belum dapat dipahami secara terperinci, namun hal ini bukanlah hal yang sederhana sebagaimana akumulasi akibat dari ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi. Mekanisme terjadinya dilatasi ventrikel cukup rumit dan berlangsung berbeda-beda tiap saat selama perkembangan hidrosefalus. Dilatasi ini terjadi sebagai akibat dari :
1. Kompresi sistem serebrovaskuler
2. Redistribusi dari likuor serebrospinalis atau cairan ekstraseluler atau keduanya di dalam sistem susunan saraf pusat
3. Perubahan mekanis dari otak (peningkatan elastisitas otak, gangguan viskoelastisitas otak, kelainan turgor otak)
4. Efek tekanan denyut likuor serebrospinalis (masih diperdebatkan)
5. Hilangnya jaringan otak
6. Pembesaran volume tengkorak (pada penderita muda) akibat adanya regangan abnormal pada sutura kranial.
Produksi likuor yang berlebihan hampir semua disebabkan oleh karena tumor pleksus khoroid (papiloma atau karsinoma). Adanya produksi yang berlebihan akan menyebabkan tekanan intrakranial meningkat dalam mempertahankan keseimbangan antara sekresi dan resorbsi likuor, sehingga akhirnya ventrikel akan membesar. Adapula beberapa laporan mengenai produksi likuor yang berlebihan tanpa adanya tumor pada pleksus khoroid, di samping juga akibat hipervitaminosis A.
Gangguan aliran likuor merupakan awal dari kebanyakan kasus hidrosefalus. Peningkatan resistensi yang disebabkan oleh gangguan aliran akan meningkatkan tekanan likuor secara proporsional dalam upaya mempertahankan resorbsi yang seimbang. Peningkatan tekanan sinus vena mempunyai dua konsekuensi, yaitu peningkatan tekanan vena kortikal sehingga menyebabkan volume vaskuler intrakranial bertambah dan peningkatan tekanan intrakranial sampai batas yang dibutuhkan untuk mempertahankan aliran likuor terhadap tekanan sinus vena yang relatif tinggi.
Konsekuensi klinis dari hipertensi vena ini tergantung dari komplians tengkorak. Bila sutura kranial sudah menutup, dilatasi ventrikel akan diimbangi dengan peningkatan volume vaskuler; dalam hal ini peningkatan tekanan vena akan diterjemahkan dalam bentuk klinis dari pseudotumor serebri. Sebaliknya, bila tengkorak masih dapat mengadaptasi, kepala akan membesar dan volume cairan akan bertambah.
Derajat peningkatan resistensi aliran cairan likuor dan kecepatan perkembangan gangguan hidrodinamik berpengaruh pada penampilan klinis.

Klasifikasi
Klasifikasi hidrosefalus bergantung pada faktor yang berkaitan dengannya. Menurut Harsono (1996), klasifikasi hidrosefalus berdasarkan :
1. Gambaran klinis
Dikenal hidrosefalus yang manifes (overt hydrocephalus) dan hidrosefalus yang tersembunyi (occult hydrocephalus). Hidrosefalus yang tampak jelas dengan tanda-tanda klinis yang khas disebut hidrosefalus yang manifes. Sementara itu, hidrosefalus dengan ukuran kepala yang normal disebut sebagai hidrosefalus yang tersembunyi.
2. Waktu pembentukan
Dikenal hidrosefalus kongenital dan hidrosefalus akuisita. Hidrosefalus yang terjadi pada neonatus atau yang berkembang selama intra uterin disebut hidrosefalus kongenital. Hidrosefalus yang terjadi karena cedera kepala selama proses kelahiran disebut hidrosefalus infantil. Hidrosefalus akuisita adalah hidrosefalus yang terjadi setelah masa neonatus atau disebabkan oleh faktor-faktor lain setelah masa neonatus (Harsono, 1996).
3. Proses terbentuknya hidrosefalus (waktu/onzet)
Dikenal hidrosefalus akut dan hidrosefalus kronik. Hidrosefalus akut adalah hidrosefalus yang terjadi secara mendadak sebagai akibat obstruksi atau gangguan absorbsi CSS (berlangsung dalam beberapa hari). Disebut hidrosefalus kronik apabila perkembangan hidrosefalus terjadi setelah aliran CSS mengalami obstruksi beberapa minggu (bulan-tahun). Dan diantara waktu tersebut disebut hidrosefalus subakut.
4. Sirkulasi CSS (cairan serebrospinal)
Dikenal hidrosefalus komunikans dan hidrosefalus non komunikans. Hidrosefalus non komunikans berarti CSS sistem ventrikulus tidak berhubungan dengan CSS ruang subaraknoid (adanya blok), misalnya terjadi pada :
a. Kelainan perkembangan akuaduktus Silvius kongenital (disebabkan oleh gen terangkai X resesif), infeksi virus, tertekannya akuaduktus dari luar karena hematoma atau aneurisma congenital
b. Atresia foramen Luschka dan Magendie (sindroma Dandy-Walker)
c. Berhubungan dengan keadaan-keadaan meningokel, ensefalokel, hipoplastik serebelum. Hidrosefalus komunikans adalah hidrosefalus yang memperlihatkan adanya hubungan antara CSS sistem ventrikulus dan CSS dari ruang subaraknoid otak dan spinal. Gangguan absorbsi CSS dapat disebabkan sumbatan sistem subaraknoid disekeliling batang otak ataupun obliterasi ruang subaraknoid disekeliling konveksitas otak. Disini seluruh sitem ventrikuli terdistensi (Huttenlocher, 1983). Hal ini terjadi pada keadaan-keadaan:
d. Malformasi Arnold-Chiari dimana terjadi hambatan CSS di ruang subaraknoid sekitar batang otak akibat berpindahnya batang otak dan serebelum ke kanalis servikalis
e. Sekunder akibat infeksi piogenik dan meningitis sehingga terjadi fibrosis dan perlekatan
f. Fibrosis akibat perdarahan subaraknoid
5. Pseudohidrosefalus dan hidrosefalus tekanan normal (normal pressure hydrocephalus).
Pseudohidrosefalus adalah disproporsi kepala dan badan bayi. Kepala bayi tumbuh cepat selama bulan kedua sampai bulan ke delapan. Selain itu ada beberapa istilah lainnya yang dipakai dalam klasifikasi maupun sebutan diagnosis kasus hidrosefalus. Hidrosefalus interna menunjukkan adanya dilatasi ventrikel; sedangkan hidrosefalus eksternal cenderung menunjukkan adanya pelebaran rongga subarakhnoid di atas permukaan korteks. Hidrosefalus obstruktif menjabarkan kasus yang mengalami obstruksi pada aliran likuor; dan hal ini dijumpai pada sebagian besar kasus. Berdasarkan gejala yang ada dibagi menjadi hidrosefalus simptomatik dan asimptomatik. Hidrosefalus arrested menunjukan keadaan di mana faktor-faktor yang menyebabkan dilatasi ventrikel pada saat tersebut sudah tidak aktif lagi.Hidrosefalus ex-vacuo adalah sebutan bagi kasus ventrikulomegali yang diakibatkan oleh atrofi otak primer, yang biasanya terdapat pada orang tua.

Manifestasi Klinis
Tanda awal dan gejala hidrosefalus tergantung pada awitan dan derajat ketidakseimbangan kapasitas produksi dan resorbsi CSS (Huttenlocher, 1983). Selain itu gambaran klinik hidrosefalus dipengaruhi oleh umur penderita, penyebab, dan lokasi obstruksi. Gejala-gejala yang menonjol merupakan refleksi adanya hipertensi intrakranial (Harsono, 1996). Manifestasi klinis dari hidrosefalus pada anak dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu :
1. Awitan hidrosefalus terjadi pada masa neonatus
Meliputi pembesaran kepala abnormal yang merupakan gambaran tetap hidrosefalus kongenital dan pada masa bayi. Pada kasus hidrosefalus kongenital yang berat dimana kepala bayi yang besar dapat mempersulit proses kelahiran, sedangkan pada bentuk yang lebih ringan, kepala berukuran normal saat lahir, tetapi kemudian tumbuh dengan laju berlebihan (Huttenlocher, 1983).
Lingkaran kepala neonatus biasanya adalah 35-40 cm, dan pertumbuhan ukuran lingkar kepala terbesar adalah selama tahun pertama kehidupan. Pada anak hidrosefalus, umur satu tahun lingkaran kepala itu menjadi 45 cm (Ngoerah, 1991). Pada masa neonatus, pengukuran lingkar kepala setiap harinya penting dalam menentukan proresivitas dari hidrosefalus. Kranium terdistensi dalam semua arah, tetapi terutama pada daerah frontal (Huttenlocher, 1983). Tampak dorsum nasi lebih besar dari biasa. Fontanella terbuka dan tegang, sutura masih terbuka bebas.
Tulang-tulang kepala menjadi sangat tipis. Vena-vena di sisi samping kepala tampak melebar dan berkelok. Sering terjadi retraksi kelopak mata yang terus-menerus (Sidharta, 1995). Pada hidrosefalus infantil yang berat, tampak suatu fenomena “matahari terbenam” (sunset phenomenon) pada bola mata. Fenomena ini timbul karena tekanan intrakranial yang tinggi dapat menekan tulang atap orbita yang sangat tipis. Tulang atap orbita ini lantas menekan pada bola mata sehingga bola-bola mata itu terputar ke bawah (Huttenlocher, 1983). Dengan kedudukan mata demikian, banyak putih sklera terlihat diantara limbus atas dari kornea dan tepi kelopak mata atas. Tanda tersebut bisa dikorelasikan dengan dilatasi ventrikel ke-3 atau akuaduktus Sylvii yang sekaligus melumpuhkan gerakan elevasi bola mata (Sidharta, 1995).
Pada funduskopi dapat tampak suatu atrofi papil primer akibat kompresi saraf optikus dan kiasma, terjadi pada kasus kronik yang tidak diterapi. Disamping itu dapat terlihat adanya anosmi kanan dan kiri. Mungkin pula terdapat strabismus karena adanya paralise dari satu atau beberapa nervi kranialis. Penderita memperlihatkan pula adanya retardasi mental dan konvulsi. Sewaktu-waktu tampak nistagmus. Bila dilakukan perkusi sedikit di belakang tempat pertemuan os frontale dengan os temporale maka dapat timbul resonansi seperti bunyi kendi retak (“cracked pot resonance”). Tanda ini dinamai Macewen’s sign. Tidak jarang dijumpai tanda-tanda paraparesis spastik dengan reflek tendon lutut atau Achilles yang meningkat serta dengan Babinski yang positif kanan dan kiri.
Menurut Harsono (1996), pada neonatus gejala yang paling umum dijumpai adalah iritabilitas. Sering kali anak tidak mau makan dan minum, dan kadang-kadang kesadaran menurun ke arah letargi. Anak kadang-kadang muntah, jarang yang bersifat proyektil. Pada masa neonatus ini gejala-gejala lainnya belum tampak. Kecurigaan akan hidrosefalus bisa berdasarkan gejala-gejala tersebut di atas, sehingga dapat dilakukan pemantauan secara teratur dan sistemik.
2. Awitan hidrosefalus terjadi pada akhir masa kanak-kanak
Jika hidrosefalus terjadi pada akhir masa kanak-kanak, maka pembesaran kepala tidak bermakna, tetapi pada umumnya anak mengeluh nyeri kepala sebagai manifestasi hipertensi intrakranial. Lokasi nyeri kepala tidak khas atau tidak menentu. Kadang-kadang anak muntah di pagi hari. Dapat disertai keluhan penglihatan ganda (diplopia) dan jarang diikuti penurunan visus.
Gangguan motorik dan koordinasi dikenali melalui perubahan cara berjalan. Hal demikian ini disebabkan oleh peregangan serabut kortikospinal korteks parietal sebagai akibat pelebaran ventrikulus lateral. Serabut-serabut yang lebih kecil yang melayani tungkai akan terlebih dahulu tertekan, sehingga menimbulkan pola berjalan yang khas (Harsono, 1996). Kombinasi spastisitas dan ataksia yang lebih mempengaruhi tungkai daripada lengan sering ditemukan, demikian pula inkontinensia urin (Huttenlocher, 1983).
Anak dapat mengalami gangguan dalam hal daya ingat dan proses belajar, terutama dalam tahun pertama sekolah. Apabila dilakukan pemeriksaan psikometrik maka akan terlihat adanya labilitas emosional dan kesulitan dalam hal konseptualisasi (Harsono, 1996). Fungsi bicara seringkali masih baik, sehingga bermanifestasi sebagai ocehan kosong yang agak karakteristik (Huttenlocher, 1983).
Secara umum gejala yang paling umum terjadi pada pasien-pasien hidrosefalus di bawah usia dua tahun adalah pembesaran abnormal yang progresif dari ukuran kepala. Makrokrania mengesankan sebagai salah satu tanda bila ukuran lingkar kepala lebih besar dari dua deviasi standar di atas ukuran normal, atau persentil 98 dari kelompok usianya. Makrokrania biasanya disertai empat gejala hipertensi intrakranial lainnya yaitu:
1. Fontanel anterior yang sangat tegang. Biasanya fontanel anterior dalam keadaan normal tampak datar atau bahkan sedikit cekung ke dalam pada bayi dalam posisi berdiri (tidak menangis).
2. Sutura kranium tampak atau teraba melebar.
3. Kulit kepala licin mengkilap dan tampak vena-vena superfisial menonjol. Perkusi kepala akan terasa seperti kendi yang rengat (cracked pot sign).
4. Fenomena ‘matahari tenggelam’ (sunset phenomenon).
Tampak kedua bola mata deviasi ke bawah dan kelopak mata atas tertarik. Fenomena ini seperti halnya tanda Perinaud, yang ada gangguan pada daerah tektam. Estropia akibat parese n. VI, dan kadang ada parese n. III, dapat menyebabkan pengelihatan ganda dan mempunyai resiko bayi menjadi ambliopia.
Gejala hipertensi intrakranial lebih menonjol pada anak yang lebih besar dibandingkan dengan bayi. Gejalanya mencakup: nyeri kepala, muntah, gangguan kesadaran, gangguan okulomotor, dan pada kasus yang telah lanjut ada gejala gangguan batang otak akibat herniasi tonsiler (bradikardia, aritmia respirasi).
Gejala lainnya yang dapat terjadi adalah; spastisitas yang biasanya melibatkan ekstremitas inferior (sebagai konsekuensi peregangan traktus piramidal sekitar ventrikel lateral yang dilatasi) dan berlanjut sebagai gangguan berjalan, gangguan endokrin (karena distraksi hipotalamus dan ‘pituitari stalk’ oleh dilatasi ventrikel III.
Secara singkat gejala klinis yang timbul antara lain:
A. Bayi:
Pada bayi, kepala dengan mudah membesar sehingga akan didapatkan gejala :
o Kepala makin membesar
o Veba-vena kepala prominen
o Ubun-ubun melebar dan tegang
o Sutura melebar
o “Cracked-pot sign”, yaitu bunyi seperti pot kembang yang retak atau buah semangka pada perkusi kepala
o Perkembangan motorik terlambat
o Perkembangan mental terlambat
o Tonus otot meningkat, hiperrefleksi (refleks lutut/akiles)
o “Cerebral cry”, yaitu tangisan pendek, bernada tinggi dan bergetar
o Nistagmus horisontal
o “Sunset phenomena”, yaitu bola mata terdorong ke bawah oleh tekanan dan penipisan tulang tulang supraorbita, sklera tampak di atas iris, sehingga iris seakan-akan seperti matahari yang akan terbenam.
B. Anak:
Bila sutura kranialis sudah menutup, terjadi tanda-tanda kenaikan tekanan intrakranial :
o Muntah proyektil
o Nyeri kepala
o Kejang
o Kesadaran menurun
o Papiledema

Komplikasi
• Hernia serebri
• Kejang
• Renjatan
Pemeriksaan Dan Diagnosis
1. Pemeriksaan fisik:
o Pengukuran lingkaran kepala secara berkala. Pengukuran ini penting untuk melihat pembesaran kepala yang progresif atau lebih dari normal
o Transiluminasi
2. Pemeriksaan darah:
Tidak ada pemeriksaan darah khusus untuk hidrosefalus
3. Pemeriksaan cairan serebrospinal:
Analisa cairan serebrospinal pada hidrosefalus akibat perdarahan atau meningitis untuk mengetahui kadar protein dan menyingkirkan kemungkinan ada infeksi sisa


4. Pemeriksaan radiologi:
o X-foto kepala: tampak kranium yang membesar atau sutura yang melebar.
o USG kepala: dilakukan bila ubun-ubun besar belum menutup.
o CT Scan kepala: untuk mengetahui adanya pelebaran ventrikel dan sekaligus mengevaluasi struktur-struktur intraserebral lainnya

Diagnosis Banding
 Bayi sehat
 Ciri keluarga (“familial feature”)
 Megaensefali
 Hidranensefali
 Tumor otak
 Cairan subdural (”subdural effusion”)

Penatalaksanaan
Pada dasarnya ada tiga prinsip dalam pengobatan hidrosefalus, yaitu :
1. Mengurangi produksi CSS dengan merusak sebagian pleksus khoroidalis dengan tindakan reseksi (pembedahan) atau koagulasi, akan tetapi hasilnya kurang memuaskan. Obat-obatan yang berpengaruh disini antara lain ; diamox (asetazolamid), isosorbit, manitol, urea, kortikosteroid, diuretik dan fenobarbital,
2. Mempengaruhi hubungan antara tempat produksi CSS dengan tempat absorbsi yakni menghubungkan ventrikel dengan ruang subaraknoid. Misalnya Torkildsen ventrikulosisternostomi pada stenosis akuaduktus Silvius. Pada anak hasilnya kurang baik karena sudah ada insufisisensi fungsi absorbsi
3. Pengeluaran likuor (CSS) kedalam organ ekstrakranial dengan cara ; ventrikuloperitoneal drainage, ventrikulopleural drainage, lumboperitoneal drainage, ventrikuloretrostomi, mengalirkan kedalam antrum mastoid, mengalirkan CSS kedalam vena jugularis melalui kateter berventil (Hoten-velve) (Hassan, 1985).
Penanganan hidrosefalus juga dapat dibagi menjadi :
1. Penanganan Sementara
Terapi konservatif medikamentosa ditujukan untuk membatasi evolusi hidrosefalus melalui upaya mengurangi sekresi cairan dari pleksus khoroid (asetazolamid 100 mg/kg BB/hari; furosemid 2 mg/kg BB/kali) atau upaya meningkatkan resorbsinya (isorbid). Terapi di atas hanya bersifat sementara sebelum dilakukan terapi definitif diterapkan atau bila ada harapan kemungkinan pulihnya gangguan hemodinamik tersebut; sebaliknya terapi ini tidak efektif untuk pengobatan jangka panjang mengingat adanya resiko terjadinya gangguan metabolik.
Drainase likuor eksternal dilakukan dengan memasang kateter ventrikuler yang kemudian dihubungkan dengan suatu kantong drain eksternal. Tindakan ini dilakukan untuk penderita yang berpotensi menjadi hidrosefalus (hidrosefalus transisi) atau yang sedang mengalami infeksi. Keterbatasan tindakan semacam ini adalah adanya ancaman kontaminasi likuor dan penderita harus selalu dipantau secara ketat. Cara lain yang mirip dengan metode ini adalah punksi ventrikel yang dilakukan berulang kali untuk mengatasi pembesaran ventrikel yang terjadi.
Cara-cara untuk mengatasi dilatasi ventrikel di atas dapat diterapkan pada beberapa situasi tertentu yang tentu pelaksanaannya perlu dipertimbangkan secara masak (seperti pada kasus stadium akut hidrosefalus pasca perdarahan).
2. Penanganan Alternatif (Selain Shunting)
Tindakan alternatif selain operasi “pintas” (shunting) diterapkan khususnya bagi kasus-kasus yang mengalami sumbatan di dalam sistem ventrikel termasuk juga saluran keluar ventrikel IV (misal: stenosis akuaduktus, tumor fossa posterior, kista arkhnoid). Dalam hal ini maka tindakan terapeutik semacam ini perlu dipikirkan lebih dahulu, walaupun kadang lebih rumit daripada memasang shunt, mengingat restorasi aliran likuor menuju keadaan atau mendekati normal selalu lebih baik daripada suatu drainase yang artifisial.
Terapi etiologik. Penanganan terhadap etiologi hidrosefalus merupakan strategi yang terbaik, seperti antara lain misalnya : pengontrolan kasus yang mengalami intoksikasi vitamin A, reseksi radikal lesi massa yang mengganggu aliran likuor atau perbaikan suatu malformasi. Memang pada sebagian kasus perlu menjalani terapi sementara dahulu sewaktu lesi kausalnya masih belu dapat dipastikan atau kadang juga masih memerlukan tindakan operasi pintas karena kasus yang mempunyai etiologi multifaktor atau mengalami gangguan aliran likuor sekunder.
Penetrasi membran. Penetrasi dasar ventrikel III merupakan suatu tindakan membuat jalan alternatif melalui rongga subarakhnoid bagi kasus-kasus stenosis akuaduktus atau (lebih umum) gangguan aliran pada fosa posterior (termasuk tumor fosa posterior). Selain memulihkan sirkulasi secara pseudo-fisiologis aliran likuor, ventrikulostomi III dapat menciptakan tekanan hidrostatik yang uniform pada seluruh sistem susunan saraf pusat sehingga mencegah terjadinya perbedaan tekanan pada struktur-struktur garis tengah yang rentan. Saat ini cara terbaik untuk melakukan perforasi dasar ventrikel III adalah dengan teknik bedah endoskopik, dimana suatu neuroendoskop (rigid atau fleksibel) dimasukkan melalui burrhole koronal (2-3 cm dari garis tengah) ke dalam ventrikel lateral, kemudian melalui foramen Monro (diidentifikasi berdasarkan pleksus khoroid dan vena septalis serta vena talamostriata) masuk ke dalam ventrikel III. Batas-batas ventrikel III dari posterior ke anterior adalah korpus mamilare, percabangan a. basilaris, dorsum sella dan resesus infundibularis. Lubang dibuat di depan percabangan arteri basilaris sehingga terbentuk saluran antara ventrikel III dengan sisterna interpedunkularis. Lubang ini dapat dibuat dengan memakai laser, monopolar koagulator, radiofrekuensi, dan kateter balon.
3. Operasi Pemasangan ‘Pintas’ (Shunting)
Sebagian besar pasien memerlukan tindakan operasi pintas, yang bertujuan membuat saluran baru antara aliran likuor (ventrikel atau lumbar) dengan kavitas drainase(seperti: peritoneum, atrium kanan, pleura). Pemilihan kavitas untuk drainase dari mana dan kemana, bervariasi untuk masing-masing kasus. Pada anak-anak lokasi drainase yang terpilih adalah rongga peritoneum, mengingat ia mampu menampung kateter yang cukup panjang sehingga dapat menyesuaikan pertumbuhan anak serta resiko terjadinya infeksi berat relatif lebih kecil dibandingkan dengan rongga atrium jantung. Lokasi drainase lain seperti: pleura, kandung empedu dan sebagainya, dapat dipilih untuk situasi kasus-kasus tertentu. Biasanya cairan serebrospinalis didrainase dari ventrikel, namun kadang pada hidrosefalus komunikans ada yang didrain ke rongga subarakhnoid lumbar. Belakangan ini drainase lumbar jarang dilakukan mengingat ada laporan bahwa terjadi herniasi tonsil pada beberapa kasus anak.

Prognosis
Prognosis hidrosefalus dipengaruhi oleh tindakan pencegahan yang diupayakan, faktor resiko, komplikasi, progresifitas dan tindakan operatif yang dikerjakan. Hidrosefalus yang tidak diterapi akan menimbulkan gejala sisa, gangguan neurologis serta kecerdasan. Dari kelompok yang tidak diterapi, 50-70% akan meninggal karena penyakitnya sendiri atau akibat infeksi berulang, atau oleh karena aspirasi pneumonia. Namun bila prosesnya berhenti (arrested hidrosefalus) sekitar 40% anak akan mencapai kecerdasan yang normal (Thanman, 1984). Pada kelompok yang dioperasi, angka kematian adalah 7%. Setelah operasi sekitar 51% kasus mencapai fungsi normal dan sekitar 16% mengalami retardasi mental ringan.
Prognosis ini juga tergantung pada penyebab dilatasi ventrikel dan bukan pada ukuran mantel korteks pada saat dilakukan operasi. Anak dengan hidrosefalus meningkat resikonya untuk berbagai ketidakmampuan perkembangan. Rata-rata quosien intelegensi berkurang dibandingkan dengan populasi umum, terutama untuk kemampuan tugas sebagai kebalikan dari kemampuan verbal. Kebanyakan anak menderita kelainan dalam fungsi memori. Masalah visual adalah lazim, termasuk strabismus, kelainan visuospasial, defek lapangan penglihatan, dan atrofi optik dengan pengurangan ketajaman akibat kenaikan tekanan intrakranial.Bangkitan visual yang kemungkinan tersembunyi tertunda dan memerlukan beberapa waktu untuk sembuh pasca koreksi hidrosefalus. Meskipun sebagian anak hidrosefalus menyenangkan dan bersikap tenang, ada anak yang mememperlihatkan perilaku agresif dan melanggar.Adalah penting sekali anak hidrosefalus mendapat tindak lanjut jangka panjang dengan kelompok multidisipliner.

A. Asuhan Keperawatan Anak Dengan Masalah Hidrosefalus
1. Pengkajian Keperawatan
Pada pengkajian ini didapat adanya perubahan tanda vital seperti penurunan denyut apeks, frekuensi pernapasan, peningkatan tekanan darah, muntah, peningkatan lingkar kepala, adanya iritabilitas letargi, perubahan pada keadaan menangis, yang bernada tinggi serta adanya aktifitas kejang. Pada bayi didapatkan pembesaran kepala di atas persentil ke-95, bagian frontal menonjol, mata turun ke bawah (sunset eyes), adanya distensi pada vena superficial kulit kepala. Sedangkan pada anak besar dapat dijimpai sakit kepala pada dahi disertai mual, muntah, nafsu makan menurun, kekakuan pada ekstremitas bawah serta adanya penurunan prestasi di sekolah.
2. Diagnosa / Masalah Keperawatan
1. Resiko cedera
2. Resiko infeksi
3. Gangguan integritas kulit
4. Perubahan proses keluarga
3. Rencana Tindakan Keperawatan
a. Resiko Cedera
Resiko tinggi terjadi pada cedera pada anak dengan hidrosefalus ini dapat disebabkan adanya peningkatan tekanan intracranial, untuk itu sasran tindakan adalah menurunkan tekanan intracranial dengan harapan anak tidak terjadi cedera yang berlanjut.
Tindakan :
1. Lakukan monitoring tanda peningkatan intracranial.
2. Hindari pemasangan IV di kulit kepala.
3. Atur posisi tinggi tempat tidur bagian kepala.
4. Jaga agar anak tetap berbaring datar.
5. Ajari keluarga tentang tanda peningkatan tekanan intracranial.
6. Kolaborasi dengan dokter dalam pra dan pasca pembedahan.
Perawatan Prabedah
1. Monitor dan cegah terjadinya peningkatan TIK, dengan cara :
• Letakkan anak dalam posisi nyaman di tempat tidur bagian kepala lebih tinggi kurang lebih 30 derajat untuk mengurangi kongesti dan meningkatnya drainase.
• Evaluasi tanda TIK seperti : peningkatan pernapasan, penurunan denyut jantung apeks, peningkatan tekanan darah dan peningkatan suhu tubuh, penurunan kesadaran, kejang, muntah, perubahan pupil.
• Kurangi stimulus luar.
• Sediakan oksiogen dan alat penghisap di tempat tidur.
2. Siapkan anak untuk menghadapi pembedahan dengan menjelaskan prosedurnya sesuai dengan usia.
b. Resiko Infeksi
Resiko terjadi infeksi pada anak dengan hidrosefalus ini dapat disebakan karena adanya system drainase mekanis atau prosedur pembedahan, dan upaya yang dapat dilakuakn adalah mengurangi atau mencegah infeksi yang timbul.
Tindakan :
1. Monitor tanda infeksi, TIK serta aktifitas kejang.
2. Observasi tanda infeksi local.
3. Beriakn antibiotic sesuai dengan ketentuan.
4. Kaji adanya drainase.
5. Beriakn perawatan luka yang aseptic.
6. Bebaskan agar popok bayi tidak menyentuh balutan.
Perawatan Pascapembedahan :
1. Pantau tanda vital dan status neurologi.
2. Pantau tanda infeksi.
3. Pertahankan fungsi pirau dengan cara sebagai berikut :
• Informasikan adanya gejala malformasi pirau seperti adanya iritabilitas, penurunan tingkat kesadaran, dan muntah.
• Tinggikan bagian kepala tempat tidur setinggi 30 derajat untuk meningkatkan drainase dan menurunkan kongesti vena.
• Atur posisi ke bagian kiri yang tidak dibedah.
• Berikan tirah baring selama 24-72 jam.
4. Bantu keluarga untuk mengurangi stres.
c. Gangguan Integritas Kulit
Resiko terjadinya kerusakan integritas kulit ini disebabkan adanya daerah tekanan daerah tekanan dan paralysis. Tujuan keperawatannya adalah untuk mencegah agar tidak terjadi kerusakan integritas kulit.
Tindakan :
1. Berikan perawatan kulit agar kelembapan dan tekanan dapat teratasi.
2. Monitor adanya tanda-tanda kerusakan integritas kulit.

EPILEPSI

EPILEPSI

PENGERTIAN
Epilepsi merupakan suatu gangguan neurologik yang relatif sering terjadi. Epilepsi merupakan suatu gangguan fungsional dan banyak jenisnya dan ditandai oleh aktifitas serangan yang berulang. Serangan kejang yang merupakan gejala atau manifestasi utama epilepsi dapat diakibatkan kelainan fungsional (motorik, sensorik atau psikis). Serangan tersebut tidak lama, tidak terkontrol serta timbul secara episodik. Serangan ini mengganggu kelangsungan kegiatan yang sedang dikerjakan pasien pada saat itu. Serangan ini berkaitan dengan pengeluaran impuls oleh neuron serebral yang berlebihan dan berlangsung lokal.

PENYEBAB EPILEPSI
1. Penyebab serangan pada umumnya
Epilepsi bukan suatu penyakit, tetapi suatu gejala yang dapat timbul karena berbagai macam penyakit. Secara umum serangn terjadi bila terjadi pelepasan aktivitas energi listrik yang besar dan mendadak dalam otak sehingga menyebabkan terganggunya fungsi otak. Setelah itu dengan cepat otak mengkoreksi sehingga gejala hilang oleh karena itu diluar serangan penyandang epilepsi adalah individu normal.
2. Penyebab spesifik epilepsi
 Kelainan yang terjadi saat perkembangan janin/kehamilan ibu:
a. Pemakaian obat-obat teratogenik (yang menganggu perkembagan janin).
b. Trauma saat hamil, peminum alkohol/narkoba atau penyinaran dengan sinar X(rontgen) atau sinar radioaktif
 Kelainan yang terjadi sat proses kelahiran:
a. Partus lama sehingga bayi kekurangan oksigen, terjadi infeksi otak saat proses kelahiran.
b. Kesalahan penaganan kelahiran sehingga terjadi cedera otak.
c. Cedera kepala yang menyebabkan kerusakan otak, kejang dapat terjadi saat terjadinya cedera kepalal atau 2-3 tahun sesudahnya. Bila kejang terjadi lebih dari 2 kali setahun dengan pola serangan yang sama barulah disebut penderita epilepsi.
d. Tumor otak
e. Penyumbatan atau kelainan pembuluh darah (AVM)
f. Radang selaput otak (meningitis) atau radang jaringan otak (ensefalitis).
g. Penyakit keturunan, fenilketonuria, tuberosklerosis atau neurofibromatosis.
h. Kecenderungan timbulnya epilepsi atau ambang kejang yang rendah diturunkan ke anak. Bila i irang tua menyandang epilepsi primer, kemungkinan anak epilepsi 5% bila keduanya epilepsi kemungkinannya 10%.

KLASIFIKASI
Klasifikasi Internasional Nama tradisional Sifat-sifat
1. Epilepsi parsial
a. Gejala dasar (motorik, sensorik atau otonomik



b. Gejala kompleks















2. Epilepsi umum

a. Absence








b. Tonik-klonik








3. Kejang unilateral
4. Kejang yang tidak terklarifikasi
Epilepsi jackson atau epilepsi fokal




Epilepsi psikomotor, atau epilepsi lobus temporalis














Petit mal








Grand mal Biasanya kesadaran tidak terganggu
Awitan fokal, biasanya kejang unilateral atau kedutan pada jari atau wajah, kemudian dapat menyebar ke seluruh sisi tubuh yang terkena serangan.
Pola yang sama untuk gejala sensoris
Biasanya penderita sadar sewaktu terjadi serangan tetapi tidak dapat mengingat kembali apa yang telah terjadi.
Gangguan mental sementara, gerakan otomatis yang tidak bertujuan (bertepuk tangan dan menjilat bibir).
Ingatan yang muncul secara tiba-tiba tentang kejadian di masa lalu, halusinasi visual atau dengar, perubahan kepribadian, tingkah laku antisosial, mood yang tidak tepat dengan suasana.
Tercetus oleh musik, kedipan sinar, atau rangsangan lain.
Bilateral, simetris dan tidak memiliki awitan lokal.
Kesadaran hilang selama beberapa detik, ditandai dengan terhentinya percakapan untuk sesaat, pandangan yang kosong atau kedipan mata yang cepat.
Hampir selalu pada anak-anak, mungkin menghilang pada waktu remaja atau diganti dengan epilepsi tonik-klonik.
Epilepsi dengan serangan klasik.
Biasanya didahului oleh suatu aura
Kesadaran hilang
Spasme otot umum secara tonik dan klonik
Lidah dapat tergigit
Inkontinesi kemih dan feses
Bingung dan amnesia terhadap kejadian sewaktu terjadi serangan


TANDA DAN GEJALA
Serangan epilepsi terjadi karena timbulnya lepas muatan listrik yang abnormal atau berlebihan dari sel neuron otak, yang timbulnya mendadak, sepintas dan berulang-ulang/periodik/kumat-kumatan. Akibatnya akan timbul berbagai gejala. Akibat serangan epilepsi timbul gejala berupa gangguan gerakan otot, perubahan perilaku, gangguan perasaan atau gangguan sistem otonomik. Serangan yang melibatkan sebagian kecil otak akan menimbulkan gejala ringan berupa bengong sejenak (absance) sedang serangan pada sebagian besar neuron akan menimbulkan kejang berkelojot disertai penurunan kesadaran.
Gejala Epilepsi
 Kejang parsial simplek
Dimulai dengan muatan listrik di bagian otak tertentu dan muatan ini tetap terbatas di daerah tersebut. Penderita mengalami sensasi, gerakan atau kelainan psikis yang abnormal, tergantung kepada daerah otak yang terkena. Jika terjadi di bagian otak yang mengendalikan gerakan otot lengan kanan, maka lengan kanan akan bergoyang dan mengalami sentakan; jika terjadi pada lobus temporalis anterior sebelah dalam, maka penderita akan mencium bau yang sangat menyenangkan atau sangat tidak menyenangkan. Pada penderita yang mengalami kelainan psikis bisa mengalami déjà vu (merasa pernah mengalami keadaan sekarang di masa yang lalu).
 Kejang Jacksonian
Gejalanya dimulai pada satu bagian tubuh tertentu (misalnya tangan atau kaki) dan kemudian menjalar ke anggota gerak, sejalan dengan penyebaran aktivitas listrik di otak.
 Kejang parsial kompleks
Melibatkan gangguan fungsional serebral pada tingkat yang lebih tinggi, seperti proses ingatan dan proses berpikir, serta tingkah laku motorik kompleks yang berjalan otomatis.
Dimulai dengan hilangnya kontak penderita dengan lingkungan sekitarnya selama 1-2 menit. Penderita menjadi goyah, menggerakkan lengan dan tungkainya dengan cara yang aneh dan tanpa tujuan, mengeluarkan suara-suara yang tak berarti, tidak mampu memahami apa yang orang lain katakan dan menolak bantuan. Kebingungan berlangsung selama beberapa menit, dan diikuti dengan penyembuhan total.
 Kejang konvulsif (kejang tonik-klonik, grand mal)
Biasanya dimulai dengan kelainan muatan listrik pada daerah otak yang terbatas. Muatan listrik ini segera menyebar ke daerah otak lainnya dan menyebabkan seluruh daerah mengalami kelainan fungsi.



 Epilepsi primer generalisata
Ditandai dengan muatan listrik abnormal di daerah otak yang luas, yang sejak awal menyebabkan penyebaran kelainan fungsi. Pada kedua jenis epilepsi ini terjadi kejang sebagai reaksi tubuh terhadap muatan yang abnormal. Pada kejang konvulsif, terjadi penurunan kesadaran sementara, kejang otot yang hebat dan sentakan-sentakan di seluruh tubuh, kepala berpaling ke satu sisi, gigi dikatupkan kuat-kuat dan hilangnya pengendalian kandung kemih. Sesudahnya penderita bisa mengalami sakit kepala, linglung sementara dan merasa sangat lelah. Biasanya penderita tidak dapat mengingat apa yang terjadi selama kejang.
 Kejang petit mal
Dimulai pada masa kanak-kanak, biasanya sebelum usia 5 tahun.
Tidak terjadi kejang dan gejala dramatis lainnya dari grand mal.
Penderita hanya menatap, kelopak matanya bergetar atau otot wajahnya berkedut-kedut selama 10-30 detik. Penderita tidak memberikan respon terhadap sekitarnya tetapi tidak terjatuh, pingsan maupun menyentak-nyentak.
 Status epileptikus
Status epileptikus menyatakan suatu keadaan dimana terjadi serangan yang berturut-turut tanpa jeda pemulihan antara kejang yang satu dengan kejang yang lain. Ada dua jenis, yaitu: (1)status motorik mayor, dimana suatu serangan tonik-klonik diikuti oleh serangan yang lain. (2) absence berlanjut, dimana terjadi serangkaian serangan absence. Status epileptikus bukan suatu fenomena yang sering dijumpai.
Status epileptikus motorik mayor merupakan suatu keadaan darurat yang akan berakibat fatal kalau tidak dapat ditanggulangi dan dipulihkan kembali. Ada beberapa jenis obat yang dapat diberikan untuk meringankan keadaan ini. Difenilhidantoin (Dilantin) yamg diberikan intravena mempunyai keuntungan karena tidak mengubah tanda-tanda neurologik dan tidak akan menimbulkan depresi pada pasien. Jika pengobatan ini tidak berhasil menghentikan serangan, maka fenobarbital atau diazepam (Valium) dapat diberikan secara intravena. Obat-obat ini lebih cenderung mengakibatkan depresi pernafasan atau jantung.
Status epileptikus seringkali meningkatkan tekanan darah pada suhu, menimbulkan kesulitan pernapasan dan perubahan-perubahan sistemik lainnya. Ventilasi yang memadai sangat penting demikian pula sistem bantuan kardiopulmunar harus dijaga jangan sampai terjadi aspirasi muntah dan saliva. Keseimbangan cairan elektrolit harus dipelihara. Kelelahan dan asidosis dapat mengakibatkan kematian. Setelah keadaan pasien terkendali, maka penyebab serangan epilepsi harus segera diselidiki. Penghentian mendadak obat antipilepsi dapat merupakan faktor pencetus timbulnya serangan, demikian juga penghentian alkohol secara mendadak.

Gejala kejang berdasarkan sisi otak yang terkena
Sisi otak yg terkena Gejala
Lobus frontalis Kedutan pada otot tertentu
Lobus oksipitalis Halusinasi kilauan cahaya
Lobus parietalis Mati rasa atau kesemutan di bagian tubuh tertentu
Lobus temporalis Halusinasi gambaran dan perilaku repetitif yang kompleks
misalnya berjalan berputar-putar
Lobus temporalis anterior Gerakan mengunyah, gerakan bibir mencium
Lobus temporalis anterior sebelah dalam Halusinasi bau, baik yg menyenangkan maupun yg tidak menyenangkan

PATOFISIOLOGI

Suatu lepas muatan simpatis akan menyebabkan naiknya tekanan darah dan bertambahnya denyut jantung. Autoregulasi peredaran darah otak hilang, mengakibatkan turunnya resistensi serebrovaskuler. Aliran darah ke otak sangat bertambah didorong oleh tingginya tekanan darah dan tidak adanya mekanisme autoregulasi. Sebaliknya tekanan darah sistemik akan turun, bila kejang berlangsung terus dan mengakibatkan turunnya tekanan perfusi, yang selanjutnya menyebabkan iskemi otak. Hal ini dan berbagai faktor lain akan menyebabkan hipoksi sel-sel otak. Kejang otot yang luas dan melibatkan otot pernafasan, selain mengganggu pernafasan secara mekanis juga menyebabkan inhibisi pada pusat pernafasan di medulla oblongata. Disamping itu kegiatan lepas muatan saraf otonom menyebabkan sekresi bronkus berlebihan dan aspirasi, mengakibatkan gangguan difusi oksigen melalui dinding alveolus. Perubahan fisiologis lain yang paling penting ialah adanya penggunaan energi yang sangat banyak. Neuron yang terus menerus terpacu menyebabkan bertambahnya metabolisme otak secara berlebihan, sehingga persediaan senyawa fosfat energi tinggi terkuras.
Hipotensi dan hipoksia akan memperburuk keadaan, yang berakhir dengan kematian sel-sel neuron. Selanjutnya hal ini dapat mengakibatkan aritmi jantung, hipoksi otak yang berat dan kematian. Kejang otot dan gangguan otoregulasi lain, juga menimbulkan komplikasi kerusakan otot, edema paru dan nekrosis tubuler mendadak. Status epileptikus yang berlangsung lama menimbulkan kelainan yang sama dengan apa yang terjadi pada hipoglikemia berat atau hipoksi. Sel-sel neuron yang mengalami iskemi selalu terdapat di daerah sektor Sommer hipokampus, lapisan 3, 4 dan 6 korteks serebri, kornu Ammon, amigdala, talamus dan sel-sel Purkinje.
Pengetahuan tentang neroanatomi dan nerofisiologi sangat penting untuk mengerti dasar gangguan pada epilepsi. Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Permukaan otak dapat dibagi atas berbagai macam wawasan yang mempunyai tugas khusus seperti wawasan motorik, sensorik, kata-kata, pengecap, pendengaran, penglihatan, penghidu, pengertian dan wawasan penghubung. Antara wawasan sensorik, penglihatan, penghidu, pendengaran dan pengecapan terdapat hubungan satu dengan yang lain. Kawasan-kawasan tersebut terdapat pada kedua belahan otak namun salah satu belahan akan lebih unggul dalam struktur dan fungsi (dominasi). Pada umumnya belahan otak kiri yang dominan tetapi pada orang kidal yang dominan belahan otak kanan.Konsep modern tentang impuls mengatakan bahwa impuls itu adalah aktifitas listrik saraf yang dibangkitkan oleh sebuah neron.
Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik saran di otak yang dinamakan fokus epileptogen, yang biasanya diketahui lokasinya tetapi tak selalu diketahui sifatnya. Epilepsi yang tak diketahui sifat pencetusnya dinamakan epilepsi idiopatik, sedangkan yang dikenal sifat pencetusnya dinamakan epilepsi simtomatik.
Setiap jenis epilepsi dapat diketahui fokus epileptogennya, umpama epilepsi grand malidiopatik fokus terletak di daerah talamus (nuclei intralaminares atau inti sentrensefalik), epilepsi petit mal di substansia retikularis, epilepsi parsial di salah satu tempat di permukaan otak. Pada hakekatnya tugas neron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik sarafi. Otak ialah rangkaian berjuta-juta neron yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan nerotransmiter. Acetylcholine dan norepinerprine ialah nerotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama amino butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps.
Pada epilepsi yang simtomatik fokus epileptogennya dapat berupa jaringan parut bekas trauma kepala, trauma lahir, pembedahan, infeksi selaput dan jaringan otak dan dapat pula neoplasma jinak dan ganas. Pada fokus tersebut tertimbun acetylcholine cukup banyak. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui dendrit dan sinaps ke neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi).
Pada keadaan demikian akan terlihat umpamanya kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar kebagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala yang disampaikan oleh orang lain yang menyaksikan terjadinya serangan epilepsi pada penderita. EEG (elektroensefalogram) merupakan pemeriksaan yang mengukur aktivitas listrik di dalam otak. Pemeriksaan ini tidak menimbulkan rasa sakit dan tidak memiliki resiko. Elektroda ditempelkan pada kulit kepala untuk mengukur impuls listrik di dalam otak. Setelah terdiagnosis, biasanya dilakukan pemeriksaan lainnya untuk menentukan penyebab yang bisa diobati.
Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk:
1. Mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah
2. Menilai fungsi hati dan ginjal
3. Menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat menunjukkan adanya infeksi).
EKG (elektrokardiogram) dilakukan untuk mengetahui adanya kelainan irama jantung sebagai akibat dari tidak adekuatnya aliran darah ke otak, yang bisa menyebabkan seseorang mengalami pingsan.
Pemeriksaan CT scan dan MRI dilakukan untuk menilai adanya tumor atau kanker otak, stroke, jaringan parut dan kerusakan karena cedera kepala. Kadang dilakukan pungsi lumbal untuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi otak.

Elektroensefalogram
Aktivitas listrik korteks selebri memiliki tegangan yang sangat rendah yang akan direkam serta diperkuat oleh suatu elektroensefalograf. Sedangkan hasil pencatatanya disebut elektroensefalogram (EEG).
EEG merupakan suatu bentuk pencatatan fisiologis dan tidak dapat membedakan suatu bentuk dari bentuk yang lain (misal, EEG tidak dapat membedakan antara tumor dan trombosis). Sepuluh persen dari penderita dengan serangan kejang mempunyai EEG yang normal. Selain itu, hasil pencatatan EEG yang abnormal bukan berarti menderita epilepsi. Kenyataanya pada kasus-kasus yang telah didiagnosis sebagai epilepsi, sebagian besar aktivitas serangan bersifat nonklinis.
Kelainan EEG pada penderita serangan apilepsi tonik-klonik tergantung dari frekuensi dan lamanya serangan. Kelainan EEG lebih sering ditemukan pada pasien yang sering mengalami sering mengalami serangan dibandingkan pada pasien yang jarang menderita serangan.

DIAGNOSIS BANDING EPILEPSI
1. Serangan anoksia, sistol kurang dari 90 mmHg, tekanan oksigen vena jugularis kurang dari 20 mmHg. Kesadaran penderita berkurang/menurun disertai bradikardi atau takikardi.

2. Sinkop
Tiba-tiba tonus hilang, tekanandarah turun tonus otot hilagn. Dapat timbul karena emosi atau ketakutan.
3. Breath holding spell
Terjadi pada anak-anak kurang dari 5 tahun. Tiba-tiba penderita tampak tidak bernapas. Terdapat penurunan kesadaran dan kekakuan otot.
4. Hiperventilasi sindrom
Tiba-tiba penderita mengeluh sakit atau suara bernafas . Pernafasan dalam dan cepat penyebabnya masalah keluarga atau emosi.
5. Histeria, migren, vertigo, abdominal pain.
6. Narkolepsi

PENANGANAN EPILEPSI
Pertolongan waktu serangan
 Jangan panik, panik akan membuat bahaya penderita.
 Taruh bantal atau sesuatu yang lembut di bawah kepala
 Perlu diingat sekali serangan terjadi tidak dapat dihentikan dengan cara apapun. Serangan akan berhenti sendiri.
 Bebaskan ja;an napas, longgarkan dasi, kerah baju.
 Bila mulut terbuka masukkan sapu tangan atau bahan empuk diantara gigi.
 Bila mulut tertutup jangan dibuka paksa.
 Miringkan kepala agar ludah keluar.
 Jangan terkejut bila penderita kejang.
 Setelah serangan tidak perlu ke dokter kecuali ada luka.
 Jangan beri minum sebeblum sadar benar.
Waktu yang tepat memanggil ambulans :
 Jika anak terluka selama mendapat serangan mendadak
 Anak mungkin menelan air/cairan
 Serangan berlangsung lebih lama dari lima menit
Hal yang tak boleh dilakukan selama anak mendapat serangan:
• Meletakkan benda di mulutnya. Jika anak mungkin menggigit lidahnya selama serangan mendadak, menyisipkan benda di mulutnya kemungkinan tak banyak membantu. Anda malah mungkin tergigit, atau parahnya, tangan Anda malah mematahkan gigi si anak. Mencoba membaringkan anak. Orang, bahkan anak-anak, secara ajaib memiliki kekuatan otot yang luar biasa selama mendapat serangan mendadak. Mencoba membaringkan si anak ke lantai bukan hal mudah dan tidak baik juga.
• Berupaya menyadarkan si anak dengan bantuan pernapasan mulut ke mulut selama dia mendapat serangan mendadak, kecuali serangan itu berakhir. Jika serangan berakhir, segera berikan alat bantu pernapasan dari mulut ke mulut jika si anak tak bernapas.
Perawatan setelah serangan
• Bila pasien tidak sadar:
a. Jaga saluran nafas lancar
b. Jaga vital sign
c. Kebutuhan cairan dan elektroloit harus diperhatikan
• Kaji apakah klien dapat mengingat apa yang telah terjadi
• Beri rasa aman pada pasien

PENGOBATAN
Penatalaksanaan primer pada penderita epilepsi adalah terapi obat-obatan untuk mencegah timbulnya serangan kejang atau untuk mengurangi frekuensinya, sehingga pasien dapat menjalani kehidupan yang normal. Sekitar 70-80 % penderita dapat merasakan obat-obat antikonvulsan. Obat yang dipilih ditentukan oleh jenis serangan dan dosisnya disesuaikan secara perseorangan.
Obat antikonvulsan
obat Kegunaanya (jenis epilepsi Kadar dalam darah Efek samping
Barbiturat
Fenobarbital






Pirimidon (mysoline)



Hidantoin
Fenitoin (Dilantin)


Kejang tonik klonik (sering bersama hidantoin)
Status epileptikus



Epilepsi parsial (terutama parsial kompleks)



Epilepsi tonik klonik (terutama dewasa)
Epilepsi parsial
Epilepsi
kompleks
15-40 μg/ml






5-12 μg/ml





10-20 μg/ml

Mengantuk (biasanya tergantung besar dosis)
Gangguan lambung
Hiperaktif (terutama pada anak-anak, tidak tergantung pada besar dosis)
Mengantuk, fertigo, diplopia, ataksia
Dimetabolisme menjadi fenobarbital dan feniletilmalonamid

Dapat meningkatkan frekuensi serangan absence
Hirsustime, hipertrofi gusi, gangguan lambung, diplopia, penglihatan kabur, vertigo, hiperglike-mia, anemia makrositik terutama pada pemakaian jangka panjang karena menghambat sintesis asam folat
obat Kegunaanya (jenis epilepsi Kadar dalam darah Efek samping



Mefenitoin (Mesantoin)


Iminostilben
Karbamasepin (Tegretol)


Benzodiazepine
Diazepam (Valium)




Klonazepam (Klonopin)


Suksinimid
Etosuksimid (Zarontin)



Metsuksimid (Celontin)

Asam valproat
Asam valproat (Depakene)


Epilepsi parsial
Epilepsi tonik klonik


Epilepsi parsialkompleks
Dapat diberikan pada anak-anak

Hanya untuk status epileptikus (IV)




Kejang mioklonik, absence



Serangan absence




Serangan absence



Serangan absence




Dewasa: 200-800 mg/hari
Anak: 100-400 mg/hari

6-12 μg/ml




Dewasa: 5-10 mg, max 30 mg IV
Anak: 1 mg tiap 2-5 mnt, max 10 mg
Dewasa: 1,5-20 mg/hari
Anak: 0,1-0,2 mg/hari

Dewasa: 20-40 mg/kg/hari
Anak: 20 mg/kg/hari
40-90 μg/ml
Dewasa/anak: 600-1200mg/hari

50-100 μg/ml Kadar dalam serum >40μg/ml dihubungkan dengan ensefalopatifenitoin
Bicara banyak dan ngawur, insomnia
Pansitopenia


Penekanan sumsum tulang, gangguan lambung, mengantuk, penglihatan kabur, sembelit, ruam kulit

Sedasi, penekanan pernapasan dan jantung




Mengantuk, bingung, vertigo, sinkop, sakit kepala
Mual, muntah, berat badan turun, sembelit, diare, gangguan tidur, diskrasia darah

Mengantuk, ataksia, anoreksia, anemia aplastik


Mual, hepatotoksik



Jika penyebabnya adalah tumor, infeksi atau kadar gula maupun natrium yang abnormal, maka keadaan tersebut harus diobati terlebih dahulu. Jika keadaan tersebut sudah teratasi, maka kejangnya sendiri tidak memerlukan pengobatan. Jika penyebabnya tidak dapat disembuhkan atau dikendalikan secara total, maka diperlukan obat anti-kejang untuk mencegah terjadinya kejang lanjutan.
Sekitar sepertiga penderita mengalami kejang kambuhan, sisanya biasanya hanya mengalami 1 kali serangan. Obat-obatan biasanya diberikan kepada penderita yang mengalami kejang kambuhan.
Status epileptikus merupakan keadaan darurat, karena itu obat anti-kejang diberikan dalam dosis tinggi secara intravena. Obat anti-kejang sangat efektif, tetapi juga bisa menimbulkan efek samping. Salah satu diantaranya adalah menimbulkan kantuk, sedangkan pada anak-anak menyebabkan hiperaktivitas. Dilakukan pemeriksaan darah secara rutin untuk memantau fungsi ginjal, hati dan sel -sel darah.
Obat anti-kejang diminum berdasarkan resep dari dokter. Pemakaian obat lain bersamaan dengan obat anti-kejang harus seizin dan sepengetahuan dokter, karena bisa merubah jumlah obat anti-kejang di dalam darah. Keluarga penderita hendaknya dilatih untuk membantu penderita jika terjadi serangan epilepsi.
Langkah yang penting adalah menjaga agar penderita tidak terjatuh, melonggarkan pakaiannya (terutama di daerah leher) dan memasang bantal di bawah kepala penderita. Jika penderita tidak sadarkan diri, sebaiknya posisinya dimiringkan agar lebih mudah bernafas dan tidak boleh ditinggalkan sendirian sampai benar-benar sadar dan bisa bergerak secara normal. Jika ditemukan kelainan otak yang terbatas, biasanya dilakukan pembedahan untuk mengangkat serat-serat saraf yang menghubungkan kedua sisi otak (korpus kalosum). Pembedahan dilakukan jika obat tidak berhasil mengatasi epilepsi atau efek sampingnya tidak dapat ditoleransi.

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN MASALAH KEJANG (EPILEPSI)

Pengkajian Keperawatan
Pada pengkajian anak dengan kejang yang perlu dikaji lebih dalam adalah riwayat kejang, perilaku anak selama kejang, sifat kejang, lama kejang, dan gerakan saat kejang.

Diagnosa Keperawatan
Diagnosis atau masalah keperawatan yang terjadi pada anak dengan kejang antara lain:
1. Potensial terjadinya luka b.d kehilangan kesadaran yang tiba-tiba
2. Tidak efektifnya jalan napas b.d sumbatan tracheobronchial
3. gangguan konsep diri b.d penyakit epilepsi
4. Kurangnya pengetahuan
5. Risiko cedera
6. Risiko terjadi hipoksia/aspirasi
7. Perubahan proses keluarga

Rencana Tindakan Keperawatan
Risiko Cedera
Tujuan keperawatan yang hendak diatasi adalah mencegah tidak terjadinya cedera agar pasien tidak mengalami kejang dan kondisinya tenang.
Tindakan:
1. Libatkan keluarga dalam penanganan kejang dan ajari cara melakukannya.
2. Hindari stimulus yang menyebabkan terjadinya kejang.
3. Berikan obat anti kejang sesuai ketentuan.
4. Lakukan perawatan gigi denagn baik selama terapi fenitoin (untuk menurunkan hiperflasi gusi)
5. Berikan vitamin D dan asam folat selama terapi fenitoin dan fenobarbital untuk mencegah defisiensi.
6. Dampingi anak selama beraktivitas.
7. Kaji lama kejang.
8. Lindungi anak selama kejang

Risiko Terjadi Hipoksia/Aspirasi
Timbulnya kejang dapat menyebabkan hipoksia. Hal ini karena hilangnya kesadaran serta adanya aktivitas motoris selama kejang yang tidak terkendali. Tujuan keperawatannya adalah mencegah terjadinya distress pernapasan.
Tindakan:
1. Jangan melakukan restrain dengan paksa.
2. Apabila anak dalam keadaan di kursi roda, bantu untuk tidur di lantai atau tempat tidur.
3. Tempatkan selimut di bawah kepala.
4. Jangan menempatkan apapun di mulut anak untuk mencegah sumbatan jalan nafas.
5. Longgarkan pakaian.
6. Pertahankan agar penghalang tempat tidur tetap terpasang.
7. Atur posisi kepala anak tidak dalam keadaan hiperekstensi untuk meningkatkan ventilasi.
8. Apabila muntah miringkan badan dengan hati-hati.
Perubahan Proses Keluarga
Perubahan proses keluarga pada anak dengan kejang ini disebabkan adanya penyakit yang dialami anak yang membutuhkan perawatan serius, untuk itu upaya yang dapat dilakukan adalah denagn memberikan dukungan pada keluarga sebagai salah satu alternatif mengurangi masalah proses keluarga.
Tindakan:
1. Libatkan keluarga dalam perawatan kejang sebelum dan sesudahnya.
2. Berikan dukungan yang cukup dalam melakukan perawatan anak.